Kim memeperbaiki letak kacamatanya. Sambil sesekali merapatkan jaket putih ke tubuhnya, lelaki berkulit putih itu berjalan menelusuri koridor, berbelok ke ruangan bercat krim dengan papan kecil bertuliskan XII-A di pintu cokelatnya. Ruangan itu masih lengang. Sebagian penghuninya memilih menunggu bel masuk diluar ruangan. Sebagian yang lain mungkin masih terhambat di jalan yang mulai padat oleh kesibukan.
Kim meletakkan ransel hitam miiknya ke atas meja, barisan ketiga
dan paling dekat dengan jendela kelas yang menghadap lapangan volly. Lapisan
kaca jendela itu berembun oleh sisa-sisa hujan yang turun sejak pagi.
Ia mendengus. Entah sudah untuk kali yang ke berapa dalam
hidupnya, ia menjadi murid baru lagi. Ayahnya yang sering dipindah tugaskan ke
luar kota membuatnya mau tak mau harus ikut berpindah-pindah. Ia tak pernah
menyukai suasana ini. Hidup bagai bunglon yang dengan cepat harus beradaptasi
dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Dan musibahnya, ia bukan orang yang cukup
mahir untuk dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Genap dua minggu ia bersekolah di Rockport High School ini,
hampir semua orang menganggapnya anti sosial karena sikapnya yang dingin dan
hanya berbicara jika diperlukan.
"Membosankan!"
Ia melepas pandangannya dari jendela, sekali lagi ia mendengus. Tak ada yang ia rasa cukup menarik di sekolah barunya. Perlahan, ia berjalan
keluar kelas. Berharap kejenuhan nya akan segera menemukan titik akhir.
. . .
Geraian rambut pirang dengan bandana biru mengayun seirama dengan
langkah yang terkesan setengah berlari. Bel masuk akan berdenting dalam hitungan menit
dan ia harus mengejar kelasnya di lantai tiga sebelum Mr.Jonson mendahuluinya.
Anak tangga berubin cokelat menyambut langkah nya di belokan
koridor. Tanpa jeda ia berjalan masih dengan setengah berlari. Tapi jeda itu
terjadi saat tiba-tiba kaki kanannya membentur ubin di anak tangga ketiga.
"Aaa!"
Suara bedebam menyusul bersamaan dengan teriakannya. Kaca bundar jam tangan putih itu retak membentur sisi tangga. Dalam posisi
terjerembab, ia mengaduh perlahan. Dicobanya meluruskan kaki kanan yang
terlipat , tapi tak bisa. Ia berdesis menahan sakit, menunduk menatap miris
kakinya.
"Grace?"
Suara itu perlahan menyapa. Ia perlahan mengangkat wajahnya, dan
seorang laki-laki berkulit putih berkacamata dengan setengah membungkuk kini
tepat dihadapan nya. Ia kenal laki-laki itu. Siswa baru di kelasnya. Siswa
paling anti sosial yang pernah ia tau. Kim. Kenapa dia bisa ada disini?
"Ku
bantu, ya? " Perlahan Kim mencoba membantu Grace meluruskan kakinya.
"Aaw!" Grace spontan berteriak, memegang pergelangan
kakinya. Ia menggeleng, memberi isyarat bahwa kakinya terlalu sakit untuk diluruskan.
"Jangan dipaksakan. Akan lebih baik jika sekarang
akumengantarmu ke UKS. Kurasa Mr.Jonson akan mengerti. Bagaimana"
"Baiklah"
Kim menarik lengan Grace melingkari pundaknya. Perlahan,
dibantunya Grace berdiri. Sesekali ia mendesis perlahan menahan sakit di
pergelangan kakinya.
Mereka sampai di ruangan yang hampir seluruhnya putih. Petugas UKS menyambut, membantu kim membawa Grace masuk.
"Terimakasih banyak, Kim" ucap Grace. Lelaki itu hanya
mengangguk, tersenyum kecil sambil memperbaiki letak kacamatanya.
"Aku duluan, ya" pamitnya. Grace mengangguk. Kim
berjalan pelan menelisik anak tangga menuju lantai tiga, berbelok ke arah kanan
dan mengetuk sopan pintu bertuliskan XII-A. Suara Mr.Jonson terdengar menggebu
dari dalam ruangan.
. . .
"Terimakasih banyak atas bantuanmu, Kim" Grace
tersenyum sambil menyodorkan sekotak wafer.
"Sama-sama, Grace. Aku hanya kebetulan lewat. Lalu, apa
maksudnya dengan ini?" Kim menoleh ke arah kotak wafer yamg disodorkan Grace.
"Ini untukmu. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih"
"Baiklah. Mungkin aku aka mencoba menyukai wafer mulai
sekarang. Terimakasih" Kim tersenyum, menerima kotak wafer dari Grace.
"Bagaimana dengan kakimu?" tanya Kim.
Grace
tertawa ringan, menggerakkan kaki kanannya yang terbalut sneaker abu-abu.
"Seperti yang kau lihat" ucapnya. Tersenyum.
"Syukurlah" Kim balas tersenyum.
"Kau aneh, Kim" ucap Grace beberapa detik kemudian,
setengah tertawa. Kim menoleh,
"Maksudmu?"
"Ku kira kau itu anti sosial. Sombong, cuek, dingin dan
membosankan. Kenyataannya kau malah sebaliknya"
"Haha" Kim tertawa ringan. "Banyak yang bilang
begitu. Tak masalah"
"Kim, ke kelas, yuk. Kurasa Ms.Nadine akan datang lebih
cepat hari ini" Grace menatap jam tangan putih di pergelangan tangannya. Jam tangan yang ia beli setelah insiden di tangga koridor pagi itu. Kim
mengangguk, berjalan menuju kelas.
Ms.Nadine datang beberapa menit kemudian. Masuk sebentar sebelum
mengomando murid XII-A untuk mengosongkan kelas dan pindah ke ruang lukis. Pelajaran seni hari ini akan berangsung disana.
"Oke. hari ini, seperti yang pernah Miss janjikan, kita akan
praktek menggambar sketsa wajah. Sebelumnya, silahkan tentukan pasangan untuk
menjadi rekan kerja selama pelajaran berlangsung"
"Hei Kim, ingin mencoba bekerja sama?" tawar Grace. Kim menoleh
"Why not?"
Grace tersenyum, menyeret salah satu kursi ke sebelah Kim. Selanjutnya, ia mulai sibuk dengan sebatang pensil dan kanvas. Pensil itu
bergerak-gerak dalam genggamannya. Sebentar kemudian, terhenti. Ia menatap Kim
"Ada apa Grace?"
"Kim, aku kerepotan dengan kacamatamu. Untuk kai ini saja,
bisakakah kau melepaskannya?" harap Grace setengah memohon.
"Baiklah"
Kim melepas kacamata yang selama ini tak pernah lepas dari
matanya. Wajah putih itu terlihat selaras dengan dua bola mata cokelat yang
terlihat jelas tanpa pembatas. Dua bola mata itu menyipit tanpa kacamata,
beberapa kali mengerjap menyesuaikan cahaya yang menerpa pandangannya. Beberapa
detik setelah itu, dua pasang mata itu bertemu. Untuk sesaat saing menatap.
"Bagaimana? Lebih baik menurutmu?" tanya Kim sambil
tersenyum lembut, memamerkan jejeran gigi putihnya yang rapi. Gadis berbandana
biru di hadapannya terpaku. Menatap tak percaya. Kim yang kini duduk
dihadapannya sungguh bukan Kim yang biasa.
. . .
Gadis berambut pirang itu mendengus. Menatap jenuh tumpukan buku
paket yang tersusun di meja belajarnya. Jam merah jambu bundar yang tersangkut
di dinding kamar menunjukkan pukul sembilan malam. Dihempaskannya tubuh
berbalut piyama biru itu ke atas kasur yang juga ber-sprei biru, menatap
langit-langit kamar yang entah kenapa terasa bagai putaran memori. Wajah Kim
dengan mata sipit itu seolah berada tepat dihadapannya. Tersenyum memamerkan
giginya yang putih. Sejak menatap dua bola mata cokelat itu, Grace merasa ada
yang berbeda setiap kali mereka bertemu. Mungkin ia menyukai Kim.
Satu minggu menjelang ujian akhir sekolah dilaksanakan, mereka
jadi lebih jarang punya waktu untuk sekedar manyapa. Hanya sesekali jika
kebetulan mereka berpas-pasan di kelas. mereka sibuk dengan buku-buku yang
bertumpuk oleh materi ujian akhir. Jujur, ia rindu menatap lagi dua bola mata
itu.
Waktu, kapan aku bisa mengungkapkan perasaan ini?.
Masih
menghadap langit-langit kamar, Grace menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangan. Tiba-tiba handphonenya bergetar. Ia menyibak bantal meraih benda kecil
persegi itu. sontak, mata Grace berbinar. Di layar yang berkedip itu nama 'Kim'
tertera.
"Hai, Grace" suara itu menyapa.
"Hai. Ada apa, Kim?" senyum itu mengembang.
"Tidak. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ingin menelponmu. Akhir-akhir ini kita jadi semakin jarang punya waktu untuk menyapa, kan?"
"Ya. Jadwal yang padat dan buku-buku yang menebal itu seolah
jadi sekat" Grace tertawa ringan
"Ya, kau benar" Kim ikut tertawa. "Bagaimana
keadaanmu, Grace?"
"Baik, kamu?"
"Aku juga"
Ada jeda beberapa detik kemudian, ada rasa yang ingin dikatakan
namun tertahan.
"Kim.."
"Ya?"
Jeda itu lagi. Ia gugup. Ia belum bisa mengungkapkan rasa itu
sekarang. Semua ini hanya masalah waktu.
"Tidak apa-apa, Kim. Kau sedang apa?" Grace
mengalihkan.
. . .
Grace tersenyum manis menatap pantuan bayangannya di cermin. Gaun
merah jambu berpadu serasi dengan kulit putihnya. Gaun yang simpel namun
cukup memukau berpadu dengan sepatu merah jambu bercorak perak. Rambut
pirang yang hampir menjangkau pinggang ia biarkan tergerai dengan pita merah
jambu menghias belahan kanannya. Gelang perak melingkar manis di tangan kiri.
Sekali lagi, wajah yang telah berpoles make up tipis itu
tersenyum. mengambil kunci mobil di atas meja rias, lalu berjalan meninggakan
kamar. Malam ini seluruh siswa tingkat akhir Rockport High School
merayakan perpisahan setelah kemarin lusa hasil ujian akhir di umumkan.
Grace menarik nafas dalam. Malam ini ia akan mengungkapkan
semuanya pada Kim. Ia tersenyum di balik kemudi mobil.
. . .
Aula sekolah yang biasanya lengang, malam ini disulap menjadi
arena perayaan bak alun-alun istana kerajaan. Puluhan lampu beraneka warna
dipasang menyihir kegelapan malam. Musik mengalun dari speaker-speaker yang
tersebar di sudut-sudut aula. Meja-meja panjang berbalut permadani perak dengan
beragam hidangan terjejer. Selaras dengan para siswi yang berbalut gau beraneka
warna dan para siswa-siswa dalam stelan jas.
Grace berdiri di salah satu sudut ruangan dengan sedikit
merengut. Ia belum meihat sosok Kim sejak tadi. Ditatapnya layar handphone yang
masih manyala di genggaman tangannya. nomor Kim tidak aktif.
"Grace?" Flo menyapanya. Ia menggenggam dua gelas
sloki berisi lemon tea, menyodorkan salah satunya kepada Grace.
"Terimakasih, Flo" Grace menerima sodoran gelas di
tangan Flo, meneguknya dengan sangat perlahan.
"Ada apa, Grace? Kelihatannya kau sedang memikirkan sesuatu?" Flo mencoba menebak.
"Flo, apakah kau melihat Kim?" tanya Grace.
Flo berhenti
meneguk lemon tea-nya, menatap Grace.
"Apa kau tidak tau kabar tentang Kim?"
"Maksudmu?" Degupan itu muncul dihatinya.
"Kim dan keluarganya malam ini berangkat ke New York. Setelah
pengumuman kelulusan kemarin, Kim dapat kabar bahwa ayahnya akan dipindah
tugaskan ke NY. Jadi, mereka sekeluarga memutuskan untuk ikut. Kau
sungguh tidak tau tentang ini, Grace?"
Grace merasa darahnya tak lagi mengalir normal. Degupan itu
perlahan terasa menyiksanya.
"Kau bohong, Flo"
"Aku serius, Grace. Semua orang di kelas kita bahkan sudah
lebih dulu tau. Malam ini keluarganya beragkat"
Grace meletakkan gelas lemon tea-nya ke atas meja hidangan.
"Aku pergi dulu, Flo" langkahnya cepat menelisik
kerumuan. Tatapannya kosong. Dua bola mata itu memanas. Ia meraih kunci mobil
dari dalam tas. Tak ada lagi senyum di wajah putih itu.
"Grace, kamu mau kemana?" Flo berteriak, ingin menyusul. tapi langkahnya terhambat oleh kerumunan. Langkah Grace tak bisa
dikejar.
Grace menyalakan mobil, mulai menelisik jalan malam dengan
hati yang bergemuruh. Bola mata itu memanas. Ada embun di sudut-sudutnya.
Mobilnya berhenti di depan gerbang sebuah rumah berlantai
dua. Rumah mewah itu terlihat gelap tanpa penerangan. Tak ada tanda-tanda
kehidupan disana. Ya, Kim telah pergi.
"Kim.." Lirihnya. Bulir-bulir bening terjatuh
satu persatu mengaliri lekuk wajahnya.
. . .
Rambut pirang itu memendek sebatas bahu, tanpa bandana
ataupun pita. Grace berjalan santai menelusuri pinggiran lapangan basket yang
lengang. Beberapa buku paket yang kemarin ia pinjam di perpustakaan universitas terdekap di pelukannya. Ia ingin
menghabiskan jam istirahat di gedung perpustakaan.
Dua tahun berlalu setelah malam itu. Grace telah mengubur
segala deburan di hatinya. Menepis jauh semua bayangan tentang dua bola mata
sipit itu. Kim tak pernah kembali, bahkan untuk sekedar menyapanya melalui
telepon pun tidak.
Grace melangkah masuk ke sebuah ruangan beraksen biru. Puluhan rak buku berjejer menyambutnya. Ia memilih salah satu kursi yang
berderet di sekitar meja baca persegi yang besar untuk menikmati buku paket
yang dibawanya.
Masih dalam hitungan detik setelah ia duduk, matanya
terpaku pada sosok yang berada tepat di seberangnya. Di meja yang sama, kursi
yang berbeda. Laki-laki putih berbola mata sipit itu tersenyum menatap Grace. Kacamata berframe putih tergenggam di tangannya. Darahnya sontak berdesir. Ia
mengenal dua bola mata itu. Ia sangat mengenalnya. Tapi...
"Apa
mungkin dia?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar