Minggu, 01 November 2015

Quotes : Prosa Layang-Layang

"Sewaktu orang diberi cobaan, Allah juga memberikannya kekuatan setara untuk menghadapi cobaan itu. Tinggal kita mau atau nggak menggunakan kekuatan itu"

"Ketika seseorang menceritakan masalahnya pada orang lain, yang dia butuhkan sebenarnya bukan solusi, tetapi rasa simpatik. Solusi jarang datang dari orang lain. Kebanyakan malah datang dari buah fikiran sendiri"

"Karena May, semua hal akan menjadi lebih indah saat hal itu bukan lagi milik kita"

"Betapapun menyenagkannya masa depan, dia tidak akan pernah bisa menggantikan masa lalu"

"Namun hati bukan kapal yang bisa memilih tempat terealistis untuk berlabuh, kan? Hati itu seperti debu, dia menuruti angin yang membawanya"

"Ya, cinta memang ada-ada saja. Kita selalu mencari ribuah alasan mengapa kita jatuh cinta. Tapi pada akhirnya, kita kembali pada satu kesimpulan: kita tidak punya satu alasan pun. Lalu kenapa kita bisa mencintai? Itu hanya naluri yang membuat kita berbuat apa saja tanpa alasan. Seperti mengapa kita ingin makan, mengapa kita ingin pipis, dan sebagainya"

"Tapi kalian tau kan, matematika? Itu pelajaran yang terdiri dari angka-angka, dimusuhi hampir seluruh pelajar di Indonesia, khususnya aku. Aku benci angka-angka, karena angka tidak bisa berbahasa. Lebih tepatnya, karena aku tidak bisa menggunakan angka-angka dengan baik"

"Kebahagiaan ada ketika kita akhirnya mendapatkan sesuatu yang kita inginkan setelah berusaha keras. Kebahagiaan ada ketika kita menerima, ketika kita berhasil mengubah masalah menjadi sebuah pembelajaran. Kebahagiaan, adalah waktu kita tersenyum"

"Satu-satunya mitos yang kupercayai di dunia ini adalah: Nyontek bisa membuat nilai kita menjadi bagus"

"Sebaik apapun langkah yang kita mabil, akan selalu ada orang yang mencemooh. Dan pada orang-orang yang seperti itu, kita tinggal tersenyum saja dan bilang pada mereka 'lihat saja nanti'. Waktu yang akan membuktikan siapa yang pantas bahagia, siapa yang nggak"

"Perbedaan dan kenyamanan memnag nggak selamanya berbanding lurus. Tetapi selama perbedaan itu menyenangkan, kenapa tidak?"


Sumber : Novel Prosa Layang-Layang by Intan Kirana
Terbitan Elex Media Komputindo

Sabtu, 05 September 2015

Cerita Ngasal Tentang 4 September-

Heran.
Entah kenapa definisi 'ulang tahun' berubah seiring bertambahnya usia.
Kalau dulu waktu kecil, yang ada di fikiran kalau disebutkan kata 'ulang tahun' pastilah muncul bayang-bayang balon, kue tart, lilin, kado dan lagu selamat ulang tahun. Duduk diatas kursi dengan gaun pesta dan dikelilingin orang-orang bertopi runcing. Rasanya ulang tahun menjadi hari paling membahagiakan.
Tapi semakin tua, makna ulang tahun berubah menjadi sesuatu yang menakutkan untuk ditunggu. Yang terbayang adalah siraman air parit, lemparan telur busuk ditambah sekarung tepung, dan sederet pernak-pernik menjijikkan lainnya. Belum lagi jika tinggal di asrama atau sejenisnya. Ditinggal lima menit saja, lemari dan tempat tidur bisa jadi sasaran empuk untuk dijadikan percobaan pembuatan kapal pecah. Atau bahkan kapal karam. Dan seperti tidak tahu diri, setelah mereka ngerjain yang ulang tahun habis-habisan, 'traktir' adalah hal yang berikutnya seakan menjadi kewajiban untuk mereka.

Lewat jam duabelas setelah tanggal kalender berganti menjadi 4 September 2015 kemarin, panitia dekorasi RIAB FAIR IV menjadi orang-orang pertama yang ngucapin 'Happy birhtday' untukku. Ya, menjelang RIAB FAIR IV yang akan dilaksanakan kurang dari sepuluh hari lagi, panitia dekorasi rela-relain waktu tidur buat nyiapin dekorasi acara. Kebetulan, malam itu aku ikutan nimbrung dengan niat bantu-bantu walau aku bukan bagian dari panitia dekorasi. And you know? Ipeh, Nahda, Risa, Una, Zahara, Ayu, maksa aku untuk nelan biskuit sebanyak-banyak yang mereka suapin sampe rasanya mulutku overdosis sama biskuit dan aku mau muntah -__- Dan sialnya mereka nggak mau tau. Katanya, ulang tahun adalah satu hari penuh penyiksaan.
Sebelumnya, Nanda-alias Tiffani-alias TM- dengan malu-malu ngantarin aku sebuah kertas yang dilipat segi empat. Yang sayangnya kertas itu nggak bisa aku paparin di layar ini karena pesan-pesan moralnya kelewat mengesankan ._.v . Anak-anak se-departemen OSIS maksa-maksa minta di balenin. Dan sayangnya lagi aku ga punya uang -__-. Heran kan, kenapa orang ulang tahun selalu di jadiin sasaran untuk minta di traktir. Padahal, seharian itu udah di siksa mati-matian.

Seharian di tanggal 4 kemarin rasanya aku jadi orang paling sibuk. Nggak ngerti sibuknya kenapa. Pokoknya sibuk aja. Dan syukur banget aku nggak di kejutkan dengan sederet pernak-pernik menjijikkan ulang tahun. Malamnya lewat jam sebelas, badan rasanya remuk. Balik dari kelas, pengen langsung ke kamar dan udah terbayang pengen lansung tidur. Tapi begitu buka pintu kamar, aku nggak percaya liat pintu-pintu lemari udah pada terbuka dan semuanya kosong. Ya, kosong. Isinya terbang entah kemana. Dilempar keseluruh sudut kamar, dan rasanya lantai kamar tertutup semua sama isi lemari.
Oke. Kata mereka, ini kado. Jadi dengan sabar aku ngeberesin semuanya malam itu juga. Rasanya pengen nangis -__- rencana untuk langsung tidur seketika musnah. Sedih banget liat kawan-kawan sekamar udah pada nyenyak tidur tapi aku masih kayak anak tiri dipaksa tengah malam ngeberesin lemari. Lemari terisi lagi dan jam udah lewat di angka dua belas. Aku jalan ke lamari satu lagi -jadi ceritanya aku punya dua lemari- buat ngambil sikat gigi. Niatnya mau ke kamar mandi dulu sebelum tidur.

Dan rasanya otak aku mendidih. Nggak taunya lemari yang satu lagi itupun diberantakin total. Arggh. Pengen marah, tapi ke siapa? Nggak ada yang ngaku -__-

Selasa, 01 September 2015

Selamat Datang September !

Ada banyak hal yang tertumpuk-tumpuk di kepala.
Ingin dikeluarkan, tapi tertahan di ujung-ujung tangan.
Harusnya malah lebih mudah dimuntahkan,
Tapi selalu terhenti di muka-muka keyboard.
 Tersendat.
Dan memang itu yang selaluterjadi berulang-ulang.
Berulang-ulang.
Hingga saat aku sadar segala hal itu berangsur meninggalkan sudut-sudut kepala,
Barulah ujung-ujung tangan itu tergerak.
Tapi selalu terlambat. Isi kepala sudah lebih dulu ngambek dan tak ingin kembali.

Hari ini permulaan September.
Dan entah kenapa ujung-ujung tangan membujukku untuk menghampiri muka-muka keyboard.
Bergerak-gerak menyuruhku mengisi layar-layar komputer.
Padahal biasanya disuruh pun tak mau.
Yasudahlah. Walau tak jelas.
Yang penting hari ini layar-layar terisi.

Walau tak penting.
Tak apa.
Karena bulan ini spesial -untukku,
Maka setidaknya disambut walau secara tak penting.

Ngomong apa, sih?

-di Lab Komputer
--Dengan setengah bosan menatap monitor dan separuh otak yang serasa meninggalkan tempurung kepala

Jumat, 19 Juni 2015

Untuk Sebuah Rasa yang Tersimpan

Bukan aku tak peka
Aku hanya merasa masih terlalu belia untuk memikirkan cinta.
Aku paham kau ingin agar aku mengerti perasaanmu. Seperti yang sering kau ucapkan bahwa entah kenapa kau sangat menyayangiku.
Ada secuil hatiku yang berbahagia untuk itu. Kau tau ?
Tapi entah kenapa, terkadang aku berharap kau cukup mencintaiku dalam diam. Tanpa perlu kau jelaskan. Dan biarkan Allah yang akan memberi kejelasan. Karna jika kau tuturkan pun, untuk apa ?
Kita ini masih bocah, bukan ?
Masih terlalu belia untuk memikirkan cinta
Bukan aku melarang. Jatuh cinta itu fitrah, kan ? Aku tau.
Tapi, apalah makna cinta untuk dua orang bocah seperti kita. Yang segalanya masih bergantung pada orang tua. Yang untuk mencari selembar uang ribuah pun masih angan-angan. Lalu dari sisi manakah aku bisa menyimpulkan bahwa ucapan 'serius' mu itu benar ?
Bahkan aku ragu apakah itu benar-benar cinta? Atau hanya simpati lalu kau sulit melupakan?
Aku tak pernah bermaksud melarangmu untuk memupuk perasaan itu untukku.
Sama sekali tidak.
Tapi kau tau ? Aku pun punya begitu banyak sisi buruk yang belum kau tau. Selama ini kau hanya melihat sisi baikku, lalu kau bilang bahwa kau jatuh cinta. Semudah itukah cinta datang ?
Karena itu aku ragu, apakah itu benar-benar cinta ? Atau hanya simpati ?
Sudah ku bilang, kan ? Kita ini masih bocah. Untuk menilai seseorang dengan baik saja kita masih awam.
Terimakasih telah cukup sabar menghadapi sikapku yang tak acuh disetiap sapamu.
Aku tau kau geram.
Aku tak acuh hanya karna aku peduli. Aku tak ingin kau menganggapku memberi harapan. Aku tak ingin kau terlalu cepat terbang tinggi melambung bersama harapan itu, kemudian menganggapku menjatuhkan mu karena mungkin pada akhirnya aku tak bisa mewujudkannya.
Terimakasih atas niatmu untuk saling menjaga. Bahwa kau juga tak menginginkan hubungan yang tak halal. Atas prinsipmu bahwa wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik. Yang ingin kutanyakan, apakah kau benar-benar telah yakin bahwa aku cukup baik untukmu ?
Kau perlu tau bahwa aku mungkin tak sebaik yang kau fikirkan.
Kau pernah bilang, kan ? Bahwa kau akan menungguku hingga kehalalan itu tiba.
Apakah kau yakin mampu menungguku ?
Apakah kau yakin bahwa orang tua kita kelak akan memiliki pemikiran yang sama ?
Perjalanan kita Insya Allah sama-sama masih panjang. Sangat panjang
Simpan dulu rasamu. Aku pun akan berusaha menyimpan nya dengan baik. Sebaik kau memupuk rasa itu sekarang.
Dan kelak jika memang kau yang telah Allah pilihkan untukku, kita masih saling mempersembahkan rasa yang masih terjaga.
Atau mungkin di ujung sana, ada seseorang yang telah menunggumu dan jauh lebih baik dariku.
Siapa tau ? Itu rahasia Allah, kan ?

Jaga hati, ya ^^

Minggu, 17 Mei 2015

Ketika Berbagi Menjadi Bagian dari Kebahagiaan

   Rabu sore di MA Ruhul Islam Anak Bangsa belakangan ini selalu terasa ramai. Anak-anak yang terdiri dari kelas satu hingga enam SD tak pernah absen hadir meramaikan sebuah komunitas baca yang terbentuk di pertengahan Januari 2015.
   Berbekal komitmen untuk saling berbagi kepada anak-anak yang tinggal di seputaran kampus MA RIAB, kami membentuk komunitas yang kami sepakati bernama 'Komca' ini. Dengan niat agar komunikasi antara warga RIAB dan warga disekitar kampus RIAB yang masih sangat minim dapat terjalin. Dan Alhamdulillah, komunitas yang beranggotakan 12 orang santri ini pun terbentuk.
   Bersama komunitas ini, aku sadar bahwa ternyata kebahagiaan yang hakiki adalah saat kita menjadi kebahagiaan untuk orang lain. Bersama adik-adik yang rutin datang setiap rabu sore untuk belajar bersama komunitas ini, aku mengerti bahwa arti kebahagiaan itu ada bersama mereka.






Sabtu, 16 Mei 2015

Kim & Grace

     Kim memeperbaiki letak kacamatanya. Sambil sesekali merapatkan jaket putih ke tubuhnya, lelaki berkulit putih itu berjalan menelusuri koridor, berbelok ke ruangan bercat krim dengan papan kecil bertuliskan XII-A di pintu cokelatnya. Ruangan itu masih lengang. Sebagian penghuninya memilih menunggu bel masuk diluar ruangan. Sebagian yang lain mungkin masih terhambat di jalan yang mulai padat oleh kesibukan.
     Kim meletakkan ransel hitam miiknya ke atas meja, barisan ketiga dan paling dekat dengan jendela kelas yang menghadap lapangan volly. Lapisan kaca jendela itu berembun oleh sisa-sisa hujan yang turun sejak pagi.
     Ia mendengus. Entah sudah untuk kali yang ke berapa dalam hidupnya, ia menjadi murid baru lagi. Ayahnya yang sering dipindah tugaskan ke luar kota membuatnya mau tak mau harus ikut berpindah-pindah. Ia tak pernah menyukai suasana ini. Hidup bagai bunglon yang dengan cepat harus beradaptasi dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Dan musibahnya, ia bukan orang yang cukup mahir untuk dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Genap dua minggu ia bersekolah di Rockport High School ini, hampir semua orang menganggapnya anti sosial karena sikapnya yang dingin dan hanya berbicara jika diperlukan.
     "Membosankan!"
     Ia melepas pandangannya dari jendela, sekali lagi ia mendengus. Tak ada yang ia rasa cukup menarik di sekolah barunya. Perlahan, ia berjalan keluar kelas. Berharap kejenuhan nya akan segera menemukan titik akhir.

. . .

     Geraian rambut pirang dengan bandana biru mengayun seirama dengan langkah yang terkesan setengah berlari. Bel masuk akan berdenting dalam hitungan menit dan ia harus mengejar kelasnya di lantai tiga sebelum Mr.Jonson mendahuluinya.
     Anak tangga berubin cokelat menyambut langkah nya di belokan koridor. Tanpa jeda ia berjalan masih dengan setengah berlari. Tapi jeda itu terjadi saat tiba-tiba kaki kanannya membentur ubin di anak tangga ketiga.
     "Aaa!"
     Suara bedebam menyusul bersamaan dengan teriakannya. Kaca bundar jam tangan putih itu retak membentur sisi tangga. Dalam posisi terjerembab, ia mengaduh perlahan. Dicobanya meluruskan kaki kanan yang terlipat , tapi tak bisa. Ia berdesis menahan sakit, menunduk menatap miris kakinya.
     "Grace?"
     Suara itu perlahan menyapa. Ia perlahan mengangkat wajahnya, dan seorang laki-laki berkulit putih berkacamata dengan setengah membungkuk kini tepat dihadapan nya. Ia kenal laki-laki itu. Siswa baru di kelasnya. Siswa paling anti sosial yang pernah ia tau. Kim. Kenapa dia bisa ada disini?
     "Ku bantu, ya? " Perlahan Kim mencoba membantu Grace meluruskan kakinya.
     "Aaw!" Grace spontan berteriak, memegang pergelangan kakinya. Ia menggeleng, memberi isyarat bahwa kakinya terlalu sakit untuk diluruskan.
     "Jangan dipaksakan. Akan lebih baik jika sekarang akumengantarmu ke UKS. Kurasa Mr.Jonson akan mengerti. Bagaimana"
     "Baiklah"
     Kim menarik lengan Grace melingkari pundaknya. Perlahan, dibantunya Grace berdiri. Sesekali ia mendesis perlahan menahan sakit di pergelangan kakinya.
     Mereka sampai di ruangan yang hampir seluruhnya putih. Petugas UKS menyambut, membantu kim membawa Grace masuk.
     "Terimakasih banyak, Kim" ucap Grace. Lelaki itu hanya mengangguk, tersenyum kecil sambil memperbaiki letak kacamatanya.
     "Aku duluan, ya" pamitnya. Grace mengangguk. Kim berjalan pelan menelisik anak tangga menuju lantai tiga, berbelok ke arah kanan dan mengetuk sopan pintu bertuliskan XII-A. Suara Mr.Jonson terdengar menggebu dari dalam ruangan.

. . .

     "Terimakasih banyak atas bantuanmu, Kim" Grace tersenyum sambil menyodorkan sekotak wafer.
     "Sama-sama, Grace. Aku hanya kebetulan lewat. Lalu, apa maksudnya dengan ini?" Kim menoleh ke arah kotak wafer yamg disodorkan Grace.
     "Ini untukmu. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih"
     "Baiklah. Mungkin aku aka mencoba menyukai wafer mulai sekarang. Terimakasih" Kim tersenyum, menerima kotak wafer dari Grace.
     "Bagaimana dengan kakimu?" tanya Kim.
     Grace tertawa ringan, menggerakkan kaki kanannya yang terbalut sneaker abu-abu.
     "Seperti yang kau lihat" ucapnya. Tersenyum.
     "Syukurlah" Kim balas tersenyum.
     "Kau aneh, Kim" ucap Grace beberapa detik kemudian, setengah tertawa. Kim menoleh,
     "Maksudmu?"
     "Ku kira kau itu anti sosial. Sombong, cuek, dingin dan membosankan. Kenyataannya kau malah sebaliknya"
     "Haha" Kim tertawa ringan. "Banyak yang bilang begitu. Tak masalah"
     "Kim, ke kelas, yuk. Kurasa Ms.Nadine akan datang lebih cepat hari ini" Grace menatap jam tangan putih di pergelangan tangannya. Jam tangan yang ia beli setelah insiden di tangga koridor pagi itu. Kim mengangguk, berjalan menuju kelas.
     Ms.Nadine datang beberapa menit kemudian. Masuk sebentar sebelum mengomando murid XII-A untuk mengosongkan kelas dan pindah ke ruang lukis. Pelajaran seni hari ini akan berangsung disana.
     "Oke. hari ini, seperti yang pernah Miss janjikan, kita akan praktek menggambar sketsa wajah. Sebelumnya, silahkan tentukan pasangan untuk menjadi rekan kerja selama pelajaran berlangsung"
     "Hei Kim, ingin mencoba bekerja sama?" tawar Grace. Kim menoleh
     "Why not?"
     Grace tersenyum, menyeret salah satu kursi ke sebelah Kim. Selanjutnya, ia mulai sibuk dengan sebatang pensil dan kanvas. Pensil itu bergerak-gerak dalam genggamannya. Sebentar kemudian, terhenti. Ia menatap Kim
     "Ada apa Grace?"
     "Kim, aku kerepotan dengan kacamatamu. Untuk kai ini saja, bisakakah kau melepaskannya?" harap Grace setengah memohon.
     "Baiklah"
     Kim melepas kacamata yang selama ini tak pernah lepas dari matanya. Wajah putih itu terlihat selaras dengan dua bola mata cokelat yang terlihat jelas tanpa pembatas. Dua bola mata itu menyipit tanpa kacamata, beberapa kali mengerjap menyesuaikan cahaya yang menerpa pandangannya. Beberapa detik setelah itu, dua pasang mata itu bertemu. Untuk sesaat saing menatap.
     "Bagaimana? Lebih baik menurutmu?" tanya Kim sambil tersenyum lembut, memamerkan jejeran gigi putihnya yang rapi. Gadis berbandana biru di hadapannya terpaku. Menatap tak percaya. Kim yang kini duduk dihadapannya sungguh bukan Kim yang biasa.

. . .

     Gadis berambut pirang itu mendengus. Menatap jenuh tumpukan buku paket yang tersusun di meja belajarnya. Jam merah jambu bundar yang tersangkut di dinding kamar menunjukkan pukul sembilan malam.  Dihempaskannya tubuh berbalut piyama biru itu ke atas kasur yang juga ber-sprei biru, menatap langit-langit kamar yang entah kenapa terasa bagai putaran memori. Wajah Kim dengan mata sipit itu seolah berada tepat dihadapannya. Tersenyum memamerkan giginya yang putih. Sejak menatap dua bola mata cokelat itu, Grace merasa ada yang berbeda setiap kali mereka bertemu. Mungkin ia menyukai Kim.
     Satu minggu menjelang ujian akhir sekolah dilaksanakan, mereka jadi lebih jarang punya waktu untuk sekedar manyapa. Hanya sesekali jika kebetulan mereka berpas-pasan di kelas. mereka sibuk dengan buku-buku yang bertumpuk oleh materi ujian akhir. Jujur, ia rindu menatap lagi dua bola mata itu.
     Waktu, kapan aku bisa mengungkapkan perasaan ini?.
     Masih menghadap langit-langit kamar, Grace menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tiba-tiba handphonenya bergetar. Ia menyibak bantal meraih benda kecil persegi itu. sontak, mata Grace berbinar. Di layar yang berkedip itu nama 'Kim' tertera.
     "Hai, Grace" suara itu menyapa.
     "Hai. Ada apa, Kim?" senyum itu mengembang.
     "Tidak. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ingin menelponmu. Akhir-akhir ini kita jadi semakin jarang punya waktu untuk menyapa, kan?"
     "Ya. Jadwal yang padat dan buku-buku yang menebal itu seolah jadi sekat" Grace tertawa ringan
     "Ya, kau benar" Kim ikut tertawa. "Bagaimana keadaanmu, Grace?"
     "Baik, kamu?"
     "Aku juga"
     Ada jeda beberapa detik kemudian, ada rasa yang ingin dikatakan namun tertahan.
     "Kim.."
     "Ya?"
     Jeda itu lagi. Ia gugup. Ia belum bisa mengungkapkan rasa itu sekarang. Semua ini hanya masalah waktu.
     "Tidak apa-apa, Kim. Kau sedang apa?" Grace mengalihkan.

. . .

     Grace tersenyum manis menatap pantuan bayangannya di cermin. Gaun merah jambu berpadu serasi dengan kulit putihnya. Gaun yang simpel namun cukup memukau  berpadu dengan sepatu merah jambu bercorak perak. Rambut pirang yang hampir menjangkau pinggang ia biarkan tergerai dengan pita merah jambu menghias belahan kanannya. Gelang perak melingkar manis di tangan kiri.
     Sekali lagi, wajah yang telah berpoles make up tipis itu tersenyum. mengambil kunci mobil di atas meja rias, lalu berjalan meninggakan kamar. Malam ini seluruh siswa tingkat akhir Rockport High School merayakan perpisahan setelah kemarin lusa hasil ujian akhir di umumkan.
     Grace menarik nafas dalam. Malam ini ia akan mengungkapkan semuanya pada Kim. Ia tersenyum di balik kemudi mobil.

. . .

     Aula sekolah yang biasanya lengang, malam ini disulap menjadi arena perayaan bak alun-alun istana kerajaan. Puluhan lampu beraneka warna dipasang menyihir kegelapan malam. Musik mengalun dari speaker-speaker yang tersebar di sudut-sudut aula. Meja-meja panjang berbalut permadani perak dengan beragam hidangan terjejer. Selaras dengan para siswi yang berbalut gau beraneka warna dan para siswa-siswa dalam stelan jas.
     Grace berdiri di salah satu sudut ruangan dengan sedikit merengut. Ia belum meihat sosok Kim sejak tadi. Ditatapnya layar handphone yang masih manyala di genggaman tangannya. nomor Kim tidak aktif.
     "Grace?" Flo menyapanya. Ia menggenggam dua gelas sloki berisi lemon tea, menyodorkan salah satunya kepada Grace.
      "Terimakasih, Flo" Grace menerima sodoran gelas di tangan Flo, meneguknya dengan sangat perlahan.
     "Ada apa, Grace? Kelihatannya kau sedang memikirkan sesuatu?" Flo mencoba menebak.

     "Flo, apakah kau melihat Kim?" tanya Grace.

     Flo berhenti meneguk lemon tea-nya, menatap Grace.
     "Apa kau tidak tau kabar tentang Kim?"
     "Maksudmu?" Degupan itu muncul dihatinya.
     "Kim dan keluarganya malam ini berangkat ke New York. Setelah pengumuman kelulusan kemarin, Kim dapat kabar bahwa ayahnya akan dipindah tugaskan ke NY. Jadi, mereka sekeluarga memutuskan untuk ikut. Kau sungguh tidak tau tentang ini, Grace?"
     Grace merasa darahnya tak lagi mengalir normal. Degupan itu perlahan terasa menyiksanya.
     "Kau bohong, Flo"
     "Aku serius, Grace. Semua orang di kelas kita bahkan sudah lebih dulu tau. Malam ini keluarganya beragkat"
     Grace meletakkan gelas lemon tea-nya ke atas meja hidangan.
     "Aku pergi dulu, Flo" langkahnya cepat menelisik kerumuan. Tatapannya kosong. Dua bola mata itu memanas. Ia meraih kunci mobil dari dalam tas. Tak ada lagi senyum di wajah putih itu.
     "Grace, kamu mau kemana?" Flo berteriak, ingin menyusul. tapi langkahnya terhambat oleh kerumunan. Langkah Grace tak bisa dikejar.
     Grace menyalakan mobil, mulai menelisik jalan malam dengan hati yang bergemuruh. Bola mata itu memanas. Ada embun di sudut-sudutnya.
     Mobilnya berhenti di depan gerbang sebuah rumah berlantai dua. Rumah mewah itu terlihat gelap tanpa penerangan. Tak ada tanda-tanda kehidupan disana. Ya, Kim telah pergi.
     "Kim.." Lirihnya. Bulir-bulir bening terjatuh satu persatu mengaliri lekuk wajahnya.


. . .



   

     Rambut pirang itu memendek sebatas bahu, tanpa bandana ataupun pita. Grace berjalan santai menelusuri pinggiran lapangan basket yang lengang. Beberapa buku paket yang kemarin ia pinjam di perpustakaan universitas terdekap di pelukannya. Ia ingin menghabiskan jam istirahat di gedung perpustakaan.
      Dua tahun berlalu setelah malam itu. Grace telah mengubur segala deburan di hatinya. Menepis jauh semua bayangan tentang dua bola mata sipit itu. Kim tak pernah kembali, bahkan untuk sekedar menyapanya melalui telepon pun tidak.
     Grace melangkah masuk ke sebuah ruangan beraksen biru. Puluhan rak buku berjejer menyambutnya. Ia memilih salah satu kursi yang berderet di sekitar meja baca persegi yang besar untuk menikmati buku paket yang dibawanya.
     Masih dalam hitungan detik setelah ia duduk, matanya terpaku pada sosok yang berada tepat di seberangnya. Di meja yang sama, kursi yang berbeda. Laki-laki putih berbola mata sipit itu tersenyum menatap Grace. Kacamata berframe putih tergenggam di tangannya. Darahnya sontak berdesir. Ia mengenal dua bola mata itu. Ia sangat mengenalnya. Tapi...

 "Apa mungkin dia?"

Sabtu, 02 Mei 2015

Parade Jurnal

   Setelah sekian lama menjadi bagian dari pengurus OSIS Ma Ruhul Islam Anak Bangsa (eaa), akhirnya salah satu program untuk mengadakan agenda Parade Jurnal terealisasikan pada 30 April-01 Mei 2015 kemarin. Walau sempat terancam GATOT alis Gagal Total karena banyak kekurangan disana-sini, akhirnya acara ini terhitung sukses juga berkat kerja keras seluruh panitia penyelenggara.

#TheRealParade

Satu hari menjelang acara, panitia benar-benar bekerja bak dikejar meteor. Departemen Jurnalistik dan Informasi yang menjadi otak penyelenggara acara ini hampir stress, termasuk saya kala itu :D . Tapi Alhamdulillah, seluruh kekurangan acara ini dapat ditambal dengan sangat baik oleh seluruh panitia. Baik itu panitia bagian acara, dekorasi, dokumentasi, konsumsi, keamanan dan bazar. Mereka benar-benar amazing, mampu menyukseskan acara kilat ini.
Selama tiga hari acara diadakan, ada 7 cabang perlombaan yang dilaksanakan. Yaitu Cerdas cermat umum, Kreasi mading, Wartawan junior, Ranking 1, Tulis cerpen, Fotografi dan Baca puisi. Seluruh santri kelas 10 dan 11 berpartisipasi memeriahkan agenda parade jurnal tahun ini. Saya selaku salah satu anggota JID (Journalistic and Information Departmen) jadi terharu :') .








Kamis, 02 April 2015

Cerita Ini Bermula di Johan Pahlawan

Kisah ini kusebut 'CERLOK' alias Cerita Lokasi. Bukan Cinlok. Karena cerita ini tak hanya cerita cinta. Tapi semua cerita tentang kita. Tentang kita yang menyatu atas nama Johan Pahlawan.


     Rabu 25 Maret 2015 adalah awal dari kisah ini. Bu Gusharni selaku camat Johan Pahlawan, melepas keberangkatan kami, kafilah Kecamatan Johan Pahlawan menuju lokasi MTQ Aceh Barat yang di laksanakan di Kecamatan Sungai Mas. Dikawal oleh mobil patroli, kami berangkat menuju lokasi MTQ yang berjarak kurang lebih 70 km dari Kecamatan Johan Pahlawan. Selama MTQ berlangsung, kafilah dari berbagai kecamatan menginap di rumah-rumah warga. Dan beruntungnya, rumah yang dipersiapkan untuk kami -kafilah putri Johan Pahlawan- terletak persis diatas bukit. Jadi, dari halaman rumah, kami bisa menyaksikan meriahnya panggung utama MTQ yang berjarak sekitar satu km dari rumah. Sedangkan rumah untuk kafilah putra Johan Pahlawan terletak berhadapan dengan rumah kami.
     Pembukaan MTQ pada hari Kamis siang 26 Maret 2015 diawali dengan pawai ta'aruf seluruh kafilah dari 12 kecamatan di Aceh Barat. Cuacanya benar-benar panas. Angin yang bertiup bahkan terasa membakar. Namun semangat para peserta MTQ sungguh tak pernah kering. Belum lagi, Ibu Camat Johan Pahlawan terus setia mendampingi kami. Setibanya di arena MTQ, kami disambut oleh arak-arakan marching band dari MAN 01 meulaboh.
     Dan -entah harus disebut aneh, melegakan atau menyebalkan- hujan turun begitu kami sampai di lokasi. Anak-anak kecil yang turut serta dalam kafilah kami sebagai peserta tingkat anak-anak, mengoceh sebal, kenapa hujan nya turun saat kami sudah mendapat titik aman untuk berteduh. Sedangkan saat pawai, jangankan hujan, awan pun serasa menghilang.
     Cerita bersama kafilah ini sungguh menyenagkan. Di rumah pemersatu kafilah Johan Pahlawan ini, aku mengenal lebih dari sekedar kebersamaan. Rumah yang di pagi-siang-malam-nya pun tak pernah terasa sepi. Aku sungguh merindukan cerita ini dan setiap tokoh yang bermain di dalamnya. Berharap bisa kembali menyusun skenario bersama mereka.

     MTQ ditutup pada Rabu 01 April 2015 oleh Bupati Aceh Barat. Sekaligus menutup skenario cerita ini. Kami pulang, menyembuhkan kembali rindu pada Johan Pahlawan. Tempat dimana aku lahir dan dibesarkan. Cerita ini memang hanya cerita lokasi. Tapi semoga, pertemanan ini tak hanya sekedar di lokasi. Terus berlanjut sampai nanti waktu yang menentukan.
     Sampai jumpa di MTQ tahun depan ! ^^










Jumat, 06 Maret 2015

HyperFans

"Faraas!!"


Echa berlari dengan setengah melompat menghampiri Faras, teman sebangku ku. Faras yang sedang bercerita tentang pengalaman pertamanya ikut parade jalan santai se-kecamatan kemarin pagi, demi mendengar panggilan Echa menoleh, menatap Echa yang seolah berlari dalam adegan slow motion. *lebay*. ya jelas nggak mungkin slow motion-lah. Kan Echa-nya lagi lari-lari di cerita happy, bukan romance. -__-


"Kenapa, Cha?" tanya Faras. yang ditanya malah senyum lebar. Lebarnya ngalahain ukuran diameter wajah *wiiih*, dilanjutin nyengir kuda beberapa detik.

"Aku dapat ini dari Fino!!" Echa dengan bangga mengeluarkan selembar uang 2000-an yang terlipat dari saku seragam-nya. Tapi segimanapun rapi dilipat, pas di buka tuh uang tetap aja kumal. Leyeh-leyeh Tersobek disana sini.

Aku berdecak aneh. Segitu nge-fans-nya-kah sama Fino?? Sampe' uang 2000 bayar utangnya yang udah ancur-ancuran aja harus di awetkan??. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala (baca: prihatin) melihat dua hippopotamus di sebelahku yang sibuk rebutan liat 'uang keramat'. Ah, dasar. Tak sadarkah mereka bahwa uang itu bukan Fino yang nyetak pake' printer tapi BI (Bank Indonesia). Abis nyebar sana sini, dari tukang sayur sampe tukang becak, dari pedagang TV sampe pedagang asongan, baru deh nyampe ke tangan Fino. Tapi bisa segitu hebohnya-kah ???
*nangis*

Pas jam istirahat, lebih heboh lagi. Faras dapat coklat pasta 500-an dari Fino. cuma coklat 500-an. eeh... dianya langsung dengan bahagiannya nyamperin Echa, pamer cerita ini-cerita itu.

"Aku dapat coklat, Cha! Coklat!!" Faras memamerkan coklat itu tepat di batang hidung Echa. Lagi-lagi aku berdecak. perasaan kaya' baru aja dapat Cadbury 5 ton. Dan aku yang menyaksikan 2 hippopotamus itu hanya bisa menangis *mana tisu*

"Coklat ini gak bakal gue makan, Cha! Bakal gue simpan!" *ya tuhan, liat merekaa*

*ngumpet dalam tas*

ya Tuhan... *berdoa dari dalam tas* segitu gila-kah kawan saya...sruutt *seruput ingus* padahal kan Fino cuma kawan sekelas yang modalnya keren doang.. atau 2 hippo itu yang salah minum obat??? semoga mereka bisa sembuh... *lap ingus*

"Cha!! Aku dapat fotonya Fino!!"
"Hah?? Liat! Liat! Waaa keren banget!! Dapat darimana?? Dikasih Fino lagi???"
"Nggak, copy dari facebook"

*gantung diri*


Kamis, 05 Maret 2015

Untukmu yang kurindu

Jalan setapak yang ku lalui malam ini, masih sama dengan jalan setapak yang ku lalui dua tahun lalu. Jalanan sempit dan berkerikil. Ingatan ku tentang tempat ini belum berubah. Sekarang atau dua tahun lalu, sama saja. Aku masih hafal liku terkecil jalan ini. Jalanan yang tak lurus dan kering. Tak ada aroma tanah yang meruap, hanya ada debu yang sesekali menyapa.

Dua tahun meninggalkan tempat ini, dan sekarang aku kembali. Rindu mendesak ingin menyapa para kerikil yang semakin berserakan. Namun kenangan itu sama sekali belum hilang. Masih terekam jelas setiap langkah kakimu yang menerbangkan rendah debu-debu penutup jalan. Menyapa riang liku jalanan. Saat langkah-langkah kita menyatu bagai satu alunan, menganggap jalanan itu adalah markas yang menyenangkan.

Kenangan itu masih terasa nyata.

Malam ini aku kembali. Dan segala memori tentang mu ikut menyeruak bersama angin yang bersemilir mengusap wajah. Kau. Sekarang atau dua tahun lalu, sama saja. Masih melekat di ingatanku. Padahal 720 hariku telah terlewat untuk melupakanmu. Namun aku gagal. Segala tentangmu telah berhasil menguak recycle bin dan menyimpan nya kembali sebagai data yang utuh. Aku tak mampu berkutik.

Kau sungguh masih kurindu ~

Senin, 05 Januari 2015

SOSIALISASI

Hari ini hari pertama sekolah aktif lagi di semester genap setelah satu minggu kemarin liburan semester ganjil. Dan hari ini, beberapa santri Ruhul Islam Anak Bangsa -termasuk aku- ditugaskan untuk sosialisasi ke sekolah-sekolah setingkat SMP/MTs. ya, tujuan nya sosialisasi sekolah kami. Well, ini pengalaman pertama kami keliling-keliling sekolah.

Untuk sekedar informasi, Ruhul Islam Anak Bangsa atau yang sering kami sebut RIAB ini adalah salah satu sekolah ber-asrama yang berbasis pesantren modern setingkat MA (Madrasah Aliyah). RIAB berdiri sejak tahun 1997 dibawah kepemimpinan Prof. Dr. H. Syamsuddin Mahmud. RIAB merupakan salah satu sekolah unggulan di Aceh yang berlokasi di Aceh Besar. Sejak berdirinya, RIAB telah melahirkan 17 angkatan yang tersebar  ke berbagai perguruan tinggi terkemuka baik dalam maupun luar negeri.



Seru juga liat-liat sekolah. Dan pastinya kami belajar banyak dari hari ini. Belajar memikat dengan kata-kata, belajar menarik simpati orang lain tentang apa yang kita promosikan. Hitung-hitung juga buat ngelatih public speaking pas ngomong di depan. Belum lagi ngeliat antusias adik-adik yang jadi pendengar dan penyimak dengan berbagai ekspresi. 
It's fun! ^^




ini dia pasukan sosialisasi hari ini ^^

Minggu, 04 Januari 2015

Picnic !

Setelah hampir satu minggu, akhirnya liburan semester ganjil tahun ini akan segera melintasi garis finish. Dan aku sama sekali belum kemana-mana. Everyday is home alone -_- . Mempertimbangkan kami -para anak yang sedang liburan- belum menikmati liburan, keluarga besar jadi sibuk ngerencanain bikin acara makan besar untuk kami. Well, setelah melalui diskusi panjang, akhirnya keluarga besar sepakat untuk nikmatin penghujung liburan dengan piknik ke Ulee Jalan, Nagan Raya.
Dan berangkatlah kami, sepuluh keluarga kecil dalam satu keluarga besar, di Sabtu pagi 03 Januari 2015. Wuiih, bayangin gimana ramenya rombongan pagi ini. Belum lagi pasukan anak di bawah umur -anak kecil maksudnya- hampir dua lusin =D


Udah lama ngga ke tempat ini. Walau memang belum banyak yang berubah. Tempatnya berupa bendungan. Dan karena sedang musim hujan, airnya deras banget. Jadi ngeri pas lewat di jembatan dan liat ke bawah. Serasa melayang-layang ke bawah sana ~(‾‾~) (~‾‾)~