Minggu, 26 Oktober 2014

Belajar Dari Shaf Shalat

Aku melangkah terburu-buru memasuki masjid. Iqamah sudah dikumandangkan hampir satu menit yang lalu, pertanda bahwa shalat berjamaah sudah mulai sejak tadi. Aku terlambat.
Aku baru saja akan memulai shalat sebagai makmum yang masbuk (terlambat dalam shalat berjamaah) saat tiba-tiba, "Allahu akbar" suara sang imam terdengar dari pengeras suara sembari melakukan gerakan sujud. Sedetik kemudian, seluruh jamaah yang hadir di masjid mengikuti gerakan imam, bersujud secara serempak.
aku tertegun untuk beberapa saat. Seluruh jamaah dalam posisi yang sama, bersujud dalam shaf-shaf yang lurus dan rapi.
Hal yang tak akan pernah di dapatkan dalam agama lain.


Ada banyak filosofi dalam kegiatan shalat berjamaah ini. Bahwa dalam islam, seorang khalifah atau pemimpin harus ditaati. Saat imam bergerak ruku', seluruh makmum pun ikut ruku'. saat imam kembali tegak berdiri, maka makmum pun melakukan gerakan yang sama dengan serempak. Dan saat ada gerakan atau bacaan imam yang salah, makmum ikut membenarkan dengan menegur menggunakan isyarat. Menunjukkan bahwa ada kalanya pemimpin itu melakukan kesalahan, maka rakyatnya berhak menegur dan membenarkan.
Aku sadar bahwa islam sangat mencintai keindahan. Bahkan dalam shaf shalat pun kerapian itu tetap diperhatikan.
Islam mencintai kebersamaan, karena itu pahala orang yang melakukan shalat berjamaah 27 kali lebih banyak dibandingkan orang yang melakukan shaat sendiri. Pelajaran lain, bahwa semua manusia sama di hadapan Allah. dalam shaf berjamaah, tidak ada pembagian shaf-shaf menurut kasta. semua orang boleh berdiri di shaf manapun, bahkan presiden sekalipun. tidak ada peraturan yang mewajibkan bahwa seorang presiden harus berdiri di shaf terdepan, pedagang kecil di shaf belakang, tidak ada. semua orang sama di mata Allah.
Subhanallah, Segala puji bagi-Mu ya Allah yang telah melahirkan ku sebagai seorang muslim.


Kamis, 23 Oktober 2014

Menghayal

Belakangan ini aku jadi lebih sering menghayal.

entah kenapa.

Tapi anehnya, mengungkapkan hayalan-hayalan ini selalu terasa 'susah' saat aku telah siap didepan monitor atau kertas dan batang pena. hayalan-hayalan itu selalu muncul tidak pada tempatnya. bukan pada saat aku telah siap dengan media untuk menampungnya. seolah hayalan-hayalan itu 'phobia' pada monitor dan tumpukan kertas. selalu saja kabur saat aku akan mengikatnya. jadi aku lebih sering mengabaikannya.
Seperti hari ini. aku sudah berada didepan layar ini hampir dua jam. memutar-mutar otak untuk mencari 'kata apa yang harus diterbitkan'. tapi nihil. andaikan otak punya mesin ketik untuk mengetik fikiran yang tiba-tiba keluar dan kita punya kendali untuk men-save-nya, mungkin aku akan mudah menyimpan hayalan-hayalan itu. apalagi kalau ada opsi 'print'-nya. tinggal dicetak, jadi hayalan-hayalan itu ga akan hilang.
Ah, aku baru saja menghayal.


Rabu, 08 Oktober 2014

Cinderella

"Maukah kau berdansa denganku, tuan putri?"
Pangeran mengulurkan tangannya dengan setengah membungkuk. Cinderella tersenyum. Sambil mengangguk disambutnya uluran tangan sang pangeran.
Semua mata di alun-alun istana terpaku menatap dua pasang kaki itu menari-nari diatas ubin merah. Malam seolah terasa singkat saat dua pasang mata itu bertemu, diiringi musik yang mengalun.
Cinderella tersenyum sepanjang detik. Hingga ia menyadari bahwa jam kerajaan sudah berdentang dua belas kali.
"Maaf, aku harus pergi!" terburu-buru Cinderella berlari meninggalkan alun-alun istana. Sementara pangeran kaget dan terheran-heran menatapnya.
"Tunggu! Siapa namamu?" teriak pangeran. Namun Cinderella terus berlari tanpa menoleh. Karena sebelum ia pergi ke istana, ibu peri mengatakan bahwa lewat jam 12 malam maka seluruh sihir akan hilang.
Hingga saat Cinderella melangkahkan kaki cepatnya menuruni tangga kerajaan, sebelah sepatu kaca yang ia kenakan tertinggal di salah satu anak tangga. Namun sayang, di anak tangga berikutnya, kakinya yang kini tak beralas tersangkut dan membuatnya tersungkur jatuh. Berguling di tangga kerajaan.
Bersamaan dengan itu juga pangeran berhasil menyusulnya. Seluruh mata terpaku. Terdiam. Detak jam istana berhenti, jarum jam menunjuk pukul 12:15. Dan seketika sihir yang tersemat pun menghilang. Cinderella yang terkulai di ujung tangga berubah kembali menjadi sosoknya yang semula.
Pangeran hanya terpaku, menatap tak percaya. Ternyata sejak tadi ia berdansa dengan seorang pembantu yang tengah menyamar.






Jumat, 25 Juli 2014

Maaf, Ayah..

Heran. Aku benar-benar heran, bagaimana ibu dapat bertahan hidup serumah dengan alligator menyeramkan seperti ayah, yang bisa mengamuk anywhere, anytime.

"Kekuatan cinta yang membuat ibu bertahan"

Itu jawaban ibu setiap pertanyaan ku terlontar. Cinta? Ibu mencintai ayah? Mencintai alligator bergigi tajam yang bertahun-tahun membuat tubuhnya remuk, jiwanya tak tenang?

Heran. Aku benar-benar heran, bagaimana ibu bisa jatuh cinta pada pusaran air mengerikan bernama ayah. Ia bisa saja menelan kehidupan sekitarnya dalam sekejap. Bagaimana mungkin ibu memutuskan untuk hidup satu atap bersama pusaran air yang bisa saja menelan nya anytime, anywhere.

"Ayah mu itu orang yang baik, sayang"

Lagi-lagi itu jawaban ibu setiap pertanyaan ku terlontar. Baik? Pusaran air yang baik? Bahkan jutaan bendungan watt arus listrik pun takkan bisa menghentikan sikap ayah. Ia tetap saja bak pusaran air. Berputar dalam kebahagiaan nya tanpa pernah peduli kemusnahan menerpa karenanya.

***

Suara itu terdengar lagi bagai instrumen yang tak asing di rumah kami. Amukan ayah, pukulan, atau bahkan benda-benda yang pecah di ubin rumah. Tapi tak pernah ada tangisan. Ibu tak pernah menangis seberat apapun ayah menghantam nya.
"Kak, ayah datang lagi, ya?" Alvin mengusap matanya, terduduk di tempat tidur dengan mata yang masih setengah mengantuk. lagi-lagi tidurnya terganggu.
"Iya, Vin. Kakak mau keluar sebentar liat ibu. kamu tunggu disini sebentar, ya?"
"Vin ikut, kak.."
"Jangan. Nggak menutup kemungkinan kamu juga bakal jadi sasaran nya ayah. Vin tunggu disini aja ya?" ku usap rambut ikal Vin yang sedikit acak-acakan, lalu beranjak keluar kamar.
"Ibu!!" Aku berlari mendekap ibu yang terseret di hadapan ayah. Wajah dan lengan nya membiru. Ada buliran bening yang seolah akan meluncur keluar dari sudut matanya namun ia tahan. Ibu selalu begitu. Ayah sempat memandang kami tak peduli sebelum ia berlalu, berjalan sempoyongan meninggalkan suara dentuman daun pintu yang dibanting dengan kasar. Ayah selalu begitu. Pulang ke rumah semaunya, membentak tanpa alasan, lalu pergi lagi. Sesekali saja ia menginap dirumah, selebihnya ayah lebih sering diluar. Entah kemana.
Empat tahun sudah ayah berubah. Ia bukan lagi ayah yang sering mengajak ku dan Vinda ke taman bermain, ayah yang setaip hari mengantar ku ke sekolah, ayah yang dengan sabar mengajari aku sepeda, ayah yang baik dan pengertian. Tapi setelah itu ayah berubah. Aku bak di hadiahi sosok ayah baru yang sungguh berbeda. Ayah yang pemarah dan tak pernah lagi memperhatikan keluarga. Tak jarang ibu yang menjadi korban nya. Entah apa dosa ibu.

Aku benci ayah.

"Ibu, ibu gapapa? Tara bantuin ibu ke kamar ya?" Ku lingkarkan lengan ibu di leher ku, berusaha memapahnya menuju kamar.
"Ibu gapapa, Tara. Kamu kenapa belum tidur?"
"Tadi Tara dengar ayah datang lagi. Takut aja ntar mood ayah sedang buruk. Bisa aja kan ayah nyakitin ibu lebih dari ini. Ibu, ibu kenapa sih ngga pernah mencoba bertindak? Ibu mau disakitin terus kegini?"
"Ah, sudahlah, Tara. Alvin mana?" Ibu selalu begitu. Berusaha mengalihkan pembicaraan setiap aku bertanya tentang ayah.
"Di kamar, bu" jawabku singkat. Ku putar gagang pintu kamar ibu, membantunya masuk. Di dinding kamar, bingkai hitam besar foto keluarga terpajang. Ayah, ibu, aku yang berdiri di antara mereka memeluk boneka panda biru, dan Alvin kecil di gendongan ibu. Foto terakhir keluarga kami empat tahun silam sebelum ayah berubah seperti sekarang. Ah, ayah, kenapa ayah berubah sekarang ?

***

"Ayah jahaat! Alvin benci sama ayah!!" Alvin menjerit dalam isakan nya.
Aku menangis memeluk ibu. Sudut bibirnya mengucurkan darah. Sekujur tubuhnya lebam. Membiru. Ibu bak dihajar demonstran, tapi lagi-lagi itu ulah ayah.
"Ayah jahaat! Kenapa ayah mukulin ibu?!!"
"Dasar anak kecil! Tau apa kamu?!" di dorongnya tubuh Alvin dengan kasar, tersungkur ke lantai. Uap panas yang sejak tadi menumpuk naik sudah ke ubun-ubun ku melihat ayah yang semakin menjadi-jadi.
"Ayah! Asal ayah tau ya, kehadiran ayah dirumah ini hanya menimbulkan kekacauan! Hidup kami lebih tenang tanpa ayah!"
Ibu menarik pelan bahuku, berusaha menghentikan. Tapi aku tak peduli. kebencian ku pada ayah benar-benar telah mencapai puncak. Ayah seketika menatap ku marah. Satu layangan tangan kekarnya mendarat di pipi kiri ku. Sakit. Air mataku mengucur. Hati ini lebih sakit dibandingkan darah yang menetes karena tamparan mu, ayah.
Ayah benar-benar telah berubah.

***

Jarum jam berbentuk dadu putih di meja kamar ku menunjuk pukul 12 malam. Perlahan ku buka pintu kamar, melangkah pelan meninggalkan rumah. Kantong kertas hitam terngenggam erat di tangan ku. Berulang kali aku berusaha menata nafas. Aku gugup. Tapi semua ini harus ku lakukan untuk keselamatan ibu. Keselamatan kami. Malam ini, ayah harus pergi dari kehidupan kami.
Aku beruntung, ayah sedang terlelap di sebuah lapak perjudian di sudut gang. Jadi aku tak perlu mencari terlalu jauh. Ku tatap kantong kertas hitam itu lagi. Tadi sore, aku sengaja mengambil kalung emas kesayangan ibu yang dititipkan di lemari kamar ku. Dan kalung itulah yang ada di dalam kantong yang sejak tadi ku genggam.
Sedikit bergetar, ku letakkan kalung itu di dekat ayah yang masih terlelap. Maaf ayah, ayah yang meminta ku melakukan ini. Aku menyayangi mu, ayah. Tapi nyawa ibu lebih aku cintai dari segalanya. Itu yang membuat ku begitu membenci mu. Setelah memastikan ayah masih terlelap, dengan langkah cepat ku tinggalkan ayah. Semua harus selesai malam ini.
Saat aku kembali, rumah lengang. Begitupun sekitarnya. Nampaknya ibu sudah tertidur. Ku keluarkan linggis kecil yang sejak tadi ku sembunyikan dalam saku piyama ku. Mencoba mencungkil salah satu jendela rumah agar terlihat dibuka paksa dari luar. Ku acak sedikit rambut ku agar orang-orang menyangka bahwa aku memang baru saja terbangun dari tidur.
Ku tarik nafas dalam, "Maafkan Tara, ayah.."

"Tolooong!! Ada maling!! Toloong!!" Aku berteriak sekeras mungkin dari teras rumah. Ibu terburu-buru keluar rumah dengan wajah panik.
"A-ada apa, Tara? Ada apa?" tanya ibu panik. Bersamaan dengan itu orang-orang berdatangan. Ku pasang wajah sepanik mungkin. Aku tak ingin ada seorangpun yang curiga. Ibu masih menatap bingung.
"Ada apa, neng?? kenapa?"
"Tolong, pak. Ada maling yang tadi ngacak-ngacak kamar saya. Dia membawa kalung emas yang ada di lemari saya, pak. Setelah tau saya terjaga, maling itu langsung kabur" aku mengiba
"Maling itu lari ke arah mana, neng??"
"Kesana, pak"
Serentak semua bubar, berlari menuju arah yang ku tunjukkan.
"Tara, benar ada maling yang masuk ke kamar kamu?" tanya ibu
"Iya, bu. Dia ngebawa kalung yang ibu titipin di lemari Tara"
"Tapi kamu gapapa kan?" ibu menatap ku panik
"Tara ngga papa, bu" ibu mendekap ku cemas.
Tepat seperti dugaan ku. Tidak butuh waktu lama, ayah diseret masyarakat 30 menit kemudian. Wajahnya babak belur. Aku hanya menatap datar. Penderitaan itu belum seberapa untuk semua yang telah ayah lakukan pada ibu, pada Alvin, dan aku.
"AYAH?!!" Seketika ibu lebih panik menyadari bahwa yang diseret itu adalah ayah. Orang-orang menatap bingung. Aku lebih bingung lagi. Harus apa aku sekarang? Ikut menangis? jelas-jelas ini perbuatan ku.
"Pak, tolong cepat panggilkan ambulan, pak. Cepat!" teriak ibu.

***

Ibu tak henti menangis di ruang tunggu ICU. Alvin hanya menatap bingung. Berulang kali ia menguap lebar. Mengantuk. Dan sejak tadi aku hanya diam. Aku harus apa?
"Ibu?" panggil ku. Ibu menoleh. Wajahnya sembab.
"Tolong jawab, bu. Kenapa ibu ngga pernah marah sama ayah, padahal ayah selalu nyakitin ibu. Tolong kali ini jawab, bu" pintaku.
"Tara, sebenarnya ada banyak hal yang tidak pernah kau tau tentang ayah.." Ibu menatap langit-langit, berusaha menahan air matanya,

"Ayah sebenarnya sangat menyayangi kalian. Menyayangi kita. Kau pasti bertanya-tanya kenapa ayah berubah empat tahun silam. Kau tau? Ayah seperti itu bukan atas kehendaknya, tapi penyakitnya.." Sampai disini ibu berhenti lagi. Menarik nafas, mencari sisa-sisa ketegaran untuk tak menangis.

"Empat tahun setelah kami menikah, ayah menderita penyakit Gulliam Barre Sindrom yang membuat ayah sering merasa anggota tubuhnya kehilangan sensitivitas, juga sesak nafas. Saat itu kau baru berusia tiga tahun dan ibu sedang hamil muda. Ayah memutuskan menunda pengobatan nya karena tabungan nya hanya cukup untuk bertahan hidup keluarga. Ibu pernah bilang untuk menggunakan tabungan itu untuk biaya pengobatan nya, tapi ayah tidak mau. Ia tak ingin melihat putrinya lapar karena tak punya biaya untuk membeli makanan. Belum lagi memikirkan biaya persalinan ibu yang tidak murah.
Keajaiban datang empat tahun kemudian. Ayah sembuh begitu saja. Tapi ternyata kesembuhan ayah dari penyakit itu membuka lembaran kepedihan baru bagi keluarga kita, terutama ayah. Satu tahun berikutnya sikap ayah sering aneh. Terkadang tanpa alasan ayah marah-marah sendiri, tapi terkadang sikapnya normal lagi. Dan saat ibu tanya, ayah ngga pernah sadar kalau ia baru saja marah-marah. Psikiater bilang, ayah punya kepribadian ganda. Antara diri ayah yang suka marah-marah dan diri ayah yang normal, mereka tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Jadi yang selama ini mukulin ibu itu bukan ayah, sayang. Ayah sayang banget sama kita. Hanya saja kejiwaan nya yang sedang terganggu. Sesekali saat ayah kembali menjadi dirinya, ayah sering nanyain kamu sama Alvin. Tapi ayah juga paham kalian sangat membencinya. Karena itu ayah lebih sering meninggalkan rumah. Ayah juga tidak ingin penyakit yang ia derita membuat kalian membencinya" Ibu menghela nafas.
Aliran darah serasa dingin merambat di sekujur tubuh ku. Ya Allah, aku tidak pernah tau hal ini. Di balik dinding-dinding kaca itu ayah sedang bertahan antara hidup dan matinya. Aku sungguh seorang anak yang durhaka. Ini semua karena ku. Aku nyaris membunuhnya. Ya Allah, andai ayah meninggal sebelum aku bisa memeluknya, aku sungguh tak pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Selamatkan ayah. Aku ingin meminta maaf padanya.

Pintu kaca dengan tirai hijau itu terbuka. Dokter berseragam putih keluar sambil melepas sarung tangan yang di kenakan nya.

"Dokter, bagaimana suami saya?" wajah ibu memucat.

Ternyata, Allah punya kehendak lain ..

Rabu, 23 Juli 2014

A Most Special Present

"Ibu jahaat!!"

BLAM!

Pintu kamar bertempelkan stiker Mickey Mouse terbanting keras diikuti isak tangis gadis kecil yang samar-samar hampir tak terdengar. Sesekali suara senggukan nya menembus dinding-dinding kamar. Ibu menggeleng-geleng memperhatikan tingkah putri kecilnya, tapi jelas ada seutas senyum tergurat di wajahnya. Tak ada sedikit rasa kesal pun terpancar, dengan tenang ia menanggapi putri kecilnya yang merengek minta dibelikan boneka baru. Padahal ia baru dibelikan banyak buku bacaan anak kemarin. Tapi nampaknya sang putri kecil belum paham makna 'boros' yang dipetuahkan ibunya. Ia terus merengek hingga akhirnya menangis dan mengurung diri di kamar.

Di balik dinding kamar, sambil sesenggukan gadis kecil itu memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas merah Dora-nya. Terbesit di fikiran nya untuk kabur dari rumah, mungkin ia akan ke rumah nenek, hasil contekan adegan film yang ia tonton beberapa hari lalu.

Di perhatikan nya lagi sekeliling kamar, mencari-cari benda apa lagi yang harus dibawanya. Celengan angsa putih di atas meja belajar seolah tersenyum mengingatkan agar ia ikut dibawa. Dicobanya memasukkan celengan itu ke dalam tas, tapi ternyata ukuran celengan itu lebih besar dari yang ia bayangkan. Diputuskan nya untuk menenteng celengan itu.

Dengan wajah sembab dan air mata yang belum seluruhnya mengering, ia keluar dari kamar. Di pundaknya tergantung tas merah Dora yang terasa kebesaran menempel di punggung nya. Dan tangan kanan nya menggenggam bagian leher celengan angsa putih yang terasa berat oleh logam recehan.

Tapi tiba-tiba, langkahnya tepat terhenti di ambang pintu rumah. Semangat nya untuk minggat dari rumah seketika meluntur mengingat sesuatu: Bagaimana caranya ia kesana? Kalau minta di anterin, bukan minggat dari rumah dong namanya. Naik transportasi umum, ngga punya uang. Minta sama ibu, gengsi. Mau mecahin celengan, ngga tega. Lama ia termenung di ambang pintu.

Dari ruang keluarga, lagi-lagi ibu tersenyum melihat tingkah laku putrinya, menatap gemas punggung yang tertutup tas sekolah merah dan kepalan tangan mungil yang menggenggam erat celengan angsa putih itu.

"Mau kemana, Amira?" Ibu mencoba menggoda, padahal jelas ia tau apa maksud putrinya.

Gadis kecil itu menoleh ke arah ibunya. Wajahnya tak lagi sembab, hanya masih ada beberapa titik air di sekitar matanya. Sebagian yang lain mengering di wajahnya.

"Bu, anterin Amira ke rumah nenek, ya?"

***

Gadis kecil berbalut seragam merah jambu dengan rompi putih berlogo PAUD Harapan Bunda di saku kanan atasnya terduduk lesu di ayunan. Sesekali dihentakkan lagi kakinya ke tanah, membuat ayunan itu bergerak sendirinya. Wajahnya kusut memperhatikan jalan beraspal di balik gerbang. Berharap sosok yang ia tunggu segera datang menjemputnya.

Lama ia menunggu. Halaman itu mulai lengang, hanya ada tiga pasang kaki lagi disana termasuk dirinya. Ia berharap bukan ia yang terakhir dijemput hari ini.

"Amira!!"

Panggilan itu seketika merubah raut wajah kusutnya. Ibu melambai dari arah gerbang. Dengan cepat disambarnya tas merah Dora miliknya yang sejak tadi ia senderkan di tiang ayunan, melompat dari ayunan dan berlari menjumpai ibunya.

Ibu menggenggam erat tangan gadis kecil yang berjalan riang di sebelahnya. Penatnya seketika hilang menatap putri kecil yang terus mengoceh riang menceritakan sekolahnya hari ini.

"Tadi bu guru ngajarin apa, sayang?"

"Tadi kami bikin burung-burungan dari kertas lipat, trus bu guru juga ngajarin kami nyanyi"


"Oh ya? Nyanyi apa?"

"Pelangi-pelangi"


"Wah.. Anak ibu pinter" di elusnya kepala Amira kecil dengan bangga. Mereka berbelok ke sebelah kanan, ayah telah menunggu dengan sepeda motornya. Amira kecil berlari-lari menghampiri ayah. Dicium nya telapak tangan ayah dan dengan lincah menaiki boncengan sepeda motor diikuti ibu dibelakang nya.

Mereka memang hanya keluarga sederhana. Ayah hanya seorang guru, begitupun ibu. Tapi ia merasa sungguh bahagia hidup di tengah-tengah orang yang ia cintai dan mencintainya.

Sepeda motor berhenti di halaman rumah. Biasanya gadis kecil itu selalu mendahului ibu dan ayahnya membuka pintu rumah. Namun kali ini ibu mendahuluinya, menggenggam lengan mungilnya sambil mengatakan "Ayah dan ibu punya sesuatu untukmu"

Gadis itu masih menerka-nerka apa yang akan ia dapatkan. Ada begitu banyak benda melintas di fikiran nya. Mereka sampai di depan pintu kamar Amira yang masih tertutup. Ayah berdiri paling depan membukakan pintu.

Begitu pintu terbuka, ia benar-benar kaget melihat boneka beruang merah jambu super besar bersender di sudut ranjangnya yang juga merah jambu. Sambil berteriak senang ia berlari memeluk boneka yang ukuran nya lebih besar dari tubuh kecilnya.

"Makasih, ayah. Makasih, ibu!" 

Senyum lebar tersungging di bibirnya. Ia mendapatkan lebih baik dari yang pernah ia harapkan. Padahal ia pernah marah karena tak dibelikan boneka yang ukuran nya jauh lebih kecil. Ternyata orang tuanya memiliki rencana lain yang jauh lebih istimewa.

# a little memory of my chilhood :)

Selasa, 22 Juli 2014

Lucunya Tayangan Televisi Indonesia

Heran. Kenapa dari jaman ke jaman tayangan televisi Indonesia ga ada logis-logisnya. Gajah terbang, nyamuk raksasa, kambing ngomong, monyet nangis, belum lagi pohon bicara yang editan mata, hidung sama mulutnya maksa banget. Kenapa nggak sekalian aja buat pohon nya main kejar-kejaran.
Emang sih, tayangan yang kaya' gitu buat anak-anak. Tapi anak-anak gak sebego itu juga kali. Adek-adek aku dirumah kalau nonton film yang kaya' gitu selalu bawaan nya fokus ngebahas efek-efek yang keliatan banget bohong nya. Malah dianggap humor, padahal adegan nya si kambing lagi nangis gara-gara disiksa sama majikan nya yang kejam. Trus ada adegan balapan kambing terbang di udara lagi. Haha. Sekalian aja bikin adegan kambing balap karung hari kemerdekaan.
Tayangan tentang anak kecil yang ceritanya sakti mandraguna. yang bisa ngeluarin cahaya warna warni dari telapak tangan trus lawan nya kebanting semua. Apaan lagi nih. Haha =D *gigit TV dirumah*
Sinetron juga nggak kalah gokilnya. Cerita tentang azab-azab-an malah buat aku jadi kaya' nonton serial komedi. ketawa aja bawaan nya kalau nonton. ada adegan sedih yang pemeran nya ngga bisa nangis, bayangin aja gimana capek nya udah maksa nangis tapi air mata ga ada yang ngucur. Pemaksaan ke' gitu wajahnya malah kelihatan kaya' orang yang lagi kebelet. kasian :D
Belum lagi yang bawaan nya kawin-cerai-kawin-cerai. yang ini mah rating tertinggi sinetron Indonesia kaya' nya. Kalau tayangan barat yang cewek nya pemberani, jelajah ini jelajah itu, nyoba ini nyoba itu, lah kalau tayangan Indonesia cewek nya cengeng. Kerjaan nya nangis. Kaya' penderitaan ga abis-abis. Aneh.
Kapan coba' tayangan Indonesia bisa saingan sama tayangan luar kalau yang ditayangin model-model beginian -.-"

Kamis, 17 Juli 2014

Semua Tentang Kita

Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi, tapi cuaca yang kurang bersahabat membuat semuanya terlihat redup, tertutup gumpalan kapas abu-abu yang menggantung sempurna menaungi gedung sekolah. Batu-batu yang berserakan di pekarangan terlihat berkilap basah tersiram rintik hujan yang tak kunjung reda. Aku merapatkan sweater biru-putih ke tubuhku, berbelok ke arah kanan koridor dan tiba di ruang kelas yang warna catnya mulai pudar dan mengelupas. Inilah kelas kami, kelas 9A.
Bekas-bekas tapak sepatu yang terkena becek membuat ubin kelas kami terlihat kumal. Aku berjalan menuju bangku dan menyenderkan ransel hitam ku di senderan bangku. Dan tepat setelah aku duduk, bel masuk kelas berbunyi.
˚˚˚


“Yaaah ibuuu..” koor seisi kelas kecewa
“Bukan nya ibu mau ngebatalin janji sama kalian. Memang perjanjian kita hari ini ngadain game. Tapi cak liatlah kelas kalian ni, manusia yang hadir bisa dihitung dengan jari tangan. Mana seru coba main game kalau ngga rame. Kita pending hari ini, ntar hari selasa ibu janji kita beneran main game. Tapi kalau kalian emang pengen main juga hari ini, oke kita main. Buat ibu ngga masalah”  jelas bu Sutrika panjang lebar
Beberapa diantara kami mulai berbisik-bisik mempertimbangkan ucapan bu Sutrika. Beberapa yang lain sibuk melipat kedua lengan nya di atas meja, menyenderkan kepala diatasnya, dan mulai menari-narikan imajinasi mereka di alam bawah sadar. Cuaca dingin membuat mulut tak bisa berhenti untuk menguap dan kelopak mata bergerak lebih cepat untuk segera tertutup rapat.
“Gimana?” tanya bu Sutrika
“Iya deh, bu. Game nya ntar hari selasa aja. Ga seru juga kalau rame yang ngga ikutan”
“Oke, semuanya deal gitu kan?”
“Deal!!” teriak seisi kelas
“Ehm, kalian baca-baca buku aja di kelas ya. ibu harus ke kantor sekarang, ada rapat seluruh dewan guru. Mungkin untuk jam pelajaran selanjutnya, semua kelas kosong. Kalian punya waktu bebas sampai rapat selesai. Keep in your class, don’t be noisy oke?”
“Oke buu!!”
Bu Sutrika membereskan buku-buku nya dari meja guru dan bergegas meninggalkan ruang kelas. Setelah kami semua merasa bu Sutrika benar-benar telah meninggalkan ruang kelas, “Yeiiii!!” seisi kelas spontan langsung dipenuhi sorakan dari berbagai sudut. Bola-bola kertas yang merupakan hasil dari gulungan kertas-kertas yang di padatkan dan di satukan dengan karet gelang, langsung melayang-layang dari arah belakang kelas. Yah, pertanda bahwa permainan bola kertas ala siswa cowok 9A saat jam kosong akan dimulai. Bagian belakang kelas yang memang sengaja kami kosongkan dijadikan mereka sebagai arena pengganti lapangan.
Dan kami –para cewek- akan cukup mengerti “tanpa kode”untuk segera membentuk kelompok-kelompok arisan yang berserakan di kelas. Di pojokan meja belakang sebelah kiri, ada Rika, Meri, Pipi dan Ayu –sebut mereka T2nea (baca: Ti two ni-รจ). Kami akan sangat paham apa yang akan mereka bahas, ngga akan jauh dari segala hal berbau Korea. Mulai dari fashion, film, sampe artis-artis Korea yang menurut mereka lagi booming banget. Mereka akan selalu bersama kemanapun, mengenakan segala hal yang berbau serasi. Mereka Korean maniac yang sangat kompak.
Disebelahnya, kumpulan cewek 9A yang –agak- ngga jelas pembahasan nya apa. Mereka lebih senang saling menceritakan hal-hal yang membuat mereka terbahak, dan mereka akan secara kompak berguling-guling memegangi perut mereka dengan bibir yang terbuka lebar di lantai kelas. Atau menekuni meja kayu yang dijadikan gendang sambil bernyanyi-nyanyi. Apapun.
Fadilah, suaranya paling bagus diantara kami semua. Tapi dia juga yang paling sering dijadikan bahan tawa oleh cowok-cowok iseng di kelas. Adi paling sering menjadikan tas Fadilah sebagai aksesoris fashion show super konyol dikelas, atau menjadikan nya kantong doraemon dan mengeluarkan semua isi tasnya ke depan kelas. Tapi Fadilah tetaplah Fadilah, ngga pernah bisa marah dan hanya tertawa kecil sambil menutup mukanya dengan telapak tangan.
Rosita, berbie 9A yang bisa dibilang rada-rada aneh. Cewek paling polos yang suka action sendiri, baca puisi sendiri, atau berpidato yang pembahasan nya mulai dari sejarah nabi sampe kebiasaan buruk satu persatu cowok 9A, atau bahkan diakhiri kisah maling jemuran yang asal usulnya entah darimana. Reskita, mata empat yang paling sering ditertawakan karena logat bicaranya yang terkadang medhok. Yang terakhir, Desi dan Afrianda yang paling sering dikerjain. Bahkan pernah tas barunya disangkutin di langit-langit kelas sama anak cowok. Membuat seisi kelas berguling-guling melihat ada tas yang melayang-layang dan afrianda yang menggerutu sambil menaiki meja.
Dan satu meja lagi di sebelah kanan paling depan, 4 orang aneh yang selalu membaurkan hal-hal ngga nyambung jadi nyambung banget, hal-hal biasa jadi luar biasa untuk ditertawakan, dan hal-hal rumit jadi super sepele. Ya, aku salah satu dari mereka. Kalau meja-meja kami telah menyatu, cerita kami akan terasa sangat nyambung, mulai dari pembahasan Jakarta banjir sampai permasalahan abang siomay yang udah tiga hari ngga mangkal di depan gerbang sekolah. Ngubah qasidah jadi rock, ngubah rock jadi dangdut, dan ngubah dangdut jadi berbau pelangi-pelangi.
Yang terakhir, Nadia. Bingung dia masuknya ke kelompok yang mana. Sekalinya gabung bareng kami, besoknya guling-guling di kelompok yang lain, ngga taunya besok malah seru-seruan ngadain debat pemilihan artis korea terkece bareng anak T2nea.
Oke, mari ku perkenalkan kelompok arisan ku. Aku? Oh, kalian tak perlu tau banyak tentang aku. Karena aku hanya butiran rinso. Ica, kulitnya paling terang di antara kami. Dia teman sebangku ku yang selalu kompak nutupin kehadiran aku yang sering ngambil jam tidur saat pelajaran berlangsung. Oke, beralih ke 2 anak paling idiot di bangku belakang kami. Lisa dan Rahma. Hah, jangan salahkan aku menyebut mereka idiot. Bu Sutrika, guru bahasa Indonesia kami sendiri yang pertama kali menyematkan gelar itu untuk mereka.
Lisa, suaranya paling besar diantara kami. Cewek paling heboh, yang selalu neriakin “Lak-Lak-Lak” dengan dua tangan terangkat-angkat ke atas kalau di kagetin. Anak aneh yang paling hobi ngehebohin iklan ‘8 anak lebih baik’. Apalagi saat semua orang heboh mendemo “Turunkan harga BBM” di segala sudut, eeh.. anak yang aneh ini akan dengan semangat teriak-teriak di pelosok sekolah, bahkan semua update-an status nya akan bernada “Naikkan harga BBM”. Disebelahnya, Rahma. Cewek pertama sebelum Lisa yang dapat gelar idiot dari bu Sutrika. Cewek paling cerewet di kelas yang kalau udah merepet itu ngga jauh beda sama emak bebek yang kehilangan anak.
Seluruh kelas di gedung sekolah dipenuhi keributan, hal rutin yang terjadi kalau ngga ada guru yang masuk. Tapi hari ini keributan nya terasa ekstra, mungkin karena suara-suara yang keluar beradu dengan dentingan hujan diluar kelas. Kantin, lapangan, bahkan sepanjang koridor kelas yang biasanya jadi tempat paling rame, hari ini sepi. Efek hujan yang membuat semuanya betah di kelas. Ngga ada yang mencoba keluar.
Di bagian belakang kelas, beberapa anak cowok masih menekuni bola kertas. Beberapa yang lain memilih bercengkrama di bangku mereka. Dan empat orang aneh di depan kelas –Amar, Adi, Fajar, Dedi- sibuk dengan media di depan kelas, memaikan botol semprot berisi cairan Cling pembersih kaca yang isinya tinggal sedikit lagi. Amar yang menyemprotkan cairan ke lukisan-lukisan kaca dan jendela kelas, dan Adi membersihkan noda-noda nya dengan kertas koran. Dedi dan Fajar sibuk bergosip di meja guru dengan spidol yang mereka lukis-lukiskan di papan tulis. Sekarang kami mengerti nggak hanya cewek yang hobi bergosip.
“Bagus deh, seenggaknya bisa bikin kelas bersih” komentar Rahma.
Dan saat isi botol Cling habis, mungkin karena kekurangan pekerjaan di kelas, Amar mengisi botol itu dengan air hujan. Kali ini bukan kaca yang mereka semprot. Tapi kami, anak-anak kelas. Dan itu cukup membuat anak-anak yang cewek protes, melihat lantai kelas yang becek karena ulah mereka.
“Ngantuk tau kalau gini terus dikelas!” Ica menyenderkan kepalanya ke atas meja
“Eh, gangguin anak-anak kelas yuk?” ajak Lisa
“Gangguin gimana?” tanyaku
“Kan rata-rata semua sepatunya bertali nih. Ntar diam-diam kita datang, trus tarikin deh ujung tali sepatunya biar lepas. Liat tuh semuanya pada tidur-tiduran di kelas” usulnya
“Hahaha.. Gila kamu, Sa!”
“Eh ngga apa-apa.. Daripada ngantuk gini terus” Lisa mulai bangkit, berjalan keliling kelas dengan matanya yang mencuri-curi ke sepatu-sepatu yang menurutnya cocok. Kami hanya terbengong melihat aksinya.
“LISAAA!!!” Meri berteriak, merasa tali sepatunya sukses dilepas oleh Lisa. Kami terbahak melihat Lisa yang juga tertawa sambil berlari menghindari Meri yang mulai menggerutu sambil kembali mengikat tali sepatunya. Ica dan Rahma mulai bangkit mengikuti jejak Lisa.
“ICAA!!!”
“RAHMAA!!!”
 “NADIAAA!!” aku berteriak, merasa tali sepatu ku sukses dilepas oleh Nadia. Dan Nadia hanya tertawa lebar melihatku menggerutu sambil memperbaiki tali sepatu. Dan teriakan-teriakan mulai bermunculan di kelas. Kehebohan baru. Beberapa orang sibuk memperbaiki tali sepatu, beberapa yang lain sibuk mencuri-curi waktu untuk agenda ‘balas dendam’ melepas tali sepatu, dan yang lain nya lagi berteriak protes atas nama Amar yang sibuk menyemprot mereka dengan air hujar di dalam botol Cling.
“Ka, keluar yuk!” Ica menarik lengan ku keluar kelas.
Diluar sepi. Di sepanjang koridor, hanya ada aku, Ica, Lisa, Rahma dan Amar cs. Semuanya anak kelas 9A. Anak kelas yang lain memilih menekuni kelas mereka daripada keluar. Amar masih sibuk dengan botol Cling-nya. Aku mulai curiga, jangan-jangan Amar terkena syndhrome yang menbuat nya nggak lepas bermain dengan botol, mirip kelakuan anak-anak yang udah berkali-kali diteriakin tapi masiih aja suka nyemprot sini nyemprot sana.
“Iih.. pengen mandi hujan..” gumam Lisa sambil menampung-nampung tetesan hujan dengan kedua tangan nya.
“Mandi hujan yuk, Sa” ajak ku
“Serius? Yuk! Mau banget!” respon Lisa. Kami berpegangan tangan, bersiap lari ke tengah lapangan. Dan seperti anak-anak, aku berlari bersama Lisa ke tengah lapangan. Ya, berteriak senang seperti anak kecil yang dilepas main.
“Kak! Udah gede’ kok masih mandi hujan?!” teriak beberapa anak kelas 8 dari lantai atas, melihat aku dan Lisa yang sibuk lompat-lompat di genangan air.
“Hahaha.. Seru tau!”
Melihat kami diluar, beberapa anak kelas lain mulai mencoba keluar kelas. Fadilah malah ikutan lari ke tengah lapangan. Disusul Rahma, Desi dan anak-anak kelas lain. Seragam sekolah yang kami kenakan mulai melekat ke kulit karena basah. Sepatu yang kami pakai terasa mulai becek. Tak ada yang peduli, semuanya sibuk menikmati desiran hujan.
Aku tau, kebersamaan ini pasti akan berakhir suatu saat nanti. Terlebih, sekarang kami telah sampai di penghujung masa belajar di sekolah ini. Aku tau kelak aku akan merindukan setiap detik disini bersama mereka. Merindukan semua hal yang pernah kami jalani. Semua kenangan yang takkan terganti. Ya, Semua Tentang Kita…

#MissingThisMoment, 8 April 2013


Rabu, 16 Juli 2014

School & I

aku salah seorang santriwati di MA Ruhul Islam Anak Bangsa, atau kami lebih sering nyingkat jadi RIAB. Salah satu sekolah islam berasrama di Banda Aceh. Tahun ajaran baru ini, aku ganti status dari 'junior' jadi 'setengah senior'. Ya masih setangah senior, soalnya masih punya senior yang lebih tinggi di kelas 12 ~(''~) (~'')~. tahun depan baru deh bener-bener jadi senior :D Tapi se-enggak-nya udah (boleh) ngerasa keren, soalnya udah punya junior di kelas 10.
beneran ga nyangka deh rasanya udah bisa nginjakin kaki di kelas 11. perasaan baru beberapa hari yang lalu kami ngejalanin masa OSPEK. Capek bareng, Nangis bareng, Ketawa bareng, Serunya juga bareng. Dalam catatan aku, masa-masa jadi junior tingkat 1 itu masa-masa yang paling seru untuk di kenang. apalagi sekolah ber-asrama. Ngerasain bulan-bulan pertama tinggal di asrama. Jauh dari rumah, jauh dari orang tua, no-gadget, no-jeje (baca: jalan-jalan). Semuanya di atur. 
Nggak bisa dipungkiri, rata-rata santri tahun pertama di asrama itu cengeng. Kerjaan nya nangis, maunya pulang, dikit-dikit bilang capek. haha :D 

cerita tentang OSPEK bisa dibaca disini (klik disini)

Masa-masa bego di OSPEK :D


"tundok deek!! tundookk!!!"


lagi nyanyiin salam OSPEK ciptaan instruktur :D


the last day of OSPEK yeiii!!


my class. X Ag1 ({})

Selasa, 15 Juli 2014

Hello World !

ini postingan pertamaku di My Notes's blog. untuk postingan-postingan selanjutnya, tunggu aja ;)
I just wanna share my  stories here :)