Heran. Aku benar-benar heran, bagaimana ibu dapat bertahan hidup serumah dengan
alligator menyeramkan seperti ayah, yang bisa mengamuk
anywhere, anytime.
"Kekuatan cinta yang membuat ibu bertahan"
Itu jawaban ibu setiap pertanyaan ku terlontar. Cinta? Ibu mencintai ayah? Mencintai alligator bergigi tajam yang bertahun-tahun membuat tubuhnya remuk, jiwanya tak tenang?
Heran. Aku benar-benar heran, bagaimana ibu bisa jatuh cinta pada pusaran air mengerikan bernama ayah. Ia bisa saja menelan kehidupan sekitarnya dalam sekejap. Bagaimana mungkin ibu memutuskan untuk hidup satu atap bersama pusaran air yang bisa saja menelan nya anytime, anywhere.
"Ayah mu itu orang yang baik, sayang"
Lagi-lagi itu jawaban ibu setiap pertanyaan ku terlontar. Baik? Pusaran air yang baik? Bahkan jutaan bendungan watt arus listrik pun takkan bisa menghentikan sikap ayah. Ia tetap saja bak pusaran air. Berputar dalam kebahagiaan nya tanpa pernah peduli kemusnahan menerpa karenanya.
***
Suara itu terdengar lagi bagai instrumen yang tak asing di rumah kami. Amukan ayah, pukulan, atau bahkan benda-benda yang pecah di ubin rumah. Tapi tak pernah ada tangisan. Ibu tak pernah menangis seberat apapun ayah menghantam nya.
"Kak, ayah datang lagi, ya?" Alvin mengusap matanya, terduduk di tempat tidur dengan mata yang masih setengah mengantuk. lagi-lagi tidurnya terganggu.
"Iya, Vin. Kakak mau keluar sebentar liat ibu. kamu tunggu disini sebentar, ya?"
"Vin ikut, kak.."
"Jangan. Nggak menutup kemungkinan kamu juga bakal jadi sasaran nya ayah. Vin tunggu disini aja ya?" ku usap rambut ikal Vin yang sedikit acak-acakan, lalu beranjak keluar kamar.
"Ibu!!" Aku berlari mendekap ibu yang terseret di hadapan ayah. Wajah dan lengan nya membiru. Ada buliran bening yang seolah akan meluncur keluar dari sudut matanya namun ia tahan. Ibu selalu begitu. Ayah sempat memandang kami tak peduli sebelum ia berlalu, berjalan sempoyongan meninggalkan suara dentuman daun pintu yang dibanting dengan kasar. Ayah selalu begitu. Pulang ke rumah semaunya, membentak tanpa alasan, lalu pergi lagi. Sesekali saja ia menginap dirumah, selebihnya ayah lebih sering diluar. Entah kemana.
Empat tahun sudah ayah berubah. Ia bukan lagi ayah yang sering mengajak ku dan Vinda ke taman bermain, ayah yang setaip hari mengantar ku ke sekolah, ayah yang dengan sabar mengajari aku sepeda, ayah yang baik dan pengertian. Tapi setelah itu ayah berubah. Aku bak di hadiahi sosok ayah baru yang sungguh berbeda. Ayah yang pemarah dan tak pernah lagi memperhatikan keluarga. Tak jarang ibu yang menjadi korban nya. Entah apa dosa ibu.
Aku benci ayah.
"Ibu, ibu gapapa? Tara bantuin ibu ke kamar ya?" Ku lingkarkan lengan ibu di leher ku, berusaha memapahnya menuju kamar.
"Ibu gapapa, Tara. Kamu kenapa belum tidur?"
"Tadi Tara dengar ayah datang lagi. Takut aja ntar mood ayah sedang buruk. Bisa aja kan ayah nyakitin ibu lebih dari ini. Ibu, ibu kenapa sih ngga pernah mencoba bertindak? Ibu mau disakitin terus kegini?"
"Ah, sudahlah, Tara. Alvin mana?" Ibu selalu begitu. Berusaha mengalihkan pembicaraan setiap aku bertanya tentang ayah.
"Di kamar, bu" jawabku singkat. Ku putar gagang pintu kamar ibu, membantunya masuk. Di dinding kamar, bingkai hitam besar foto keluarga terpajang. Ayah, ibu, aku yang berdiri di antara mereka memeluk boneka panda biru, dan Alvin kecil di gendongan ibu. Foto terakhir keluarga kami empat tahun silam sebelum ayah berubah seperti sekarang. Ah, ayah, kenapa ayah berubah sekarang ?
***
"Ayah jahaat! Alvin benci sama ayah!!" Alvin menjerit dalam isakan nya.
Aku menangis memeluk ibu. Sudut bibirnya mengucurkan darah. Sekujur tubuhnya lebam. Membiru. Ibu bak dihajar demonstran, tapi lagi-lagi itu ulah ayah.
"Ayah jahaat! Kenapa ayah mukulin ibu?!!"
"Dasar anak kecil! Tau apa kamu?!" di dorongnya tubuh Alvin dengan kasar, tersungkur ke lantai. Uap panas yang sejak tadi menumpuk naik sudah ke ubun-ubun ku melihat ayah yang semakin menjadi-jadi.
"Ayah! Asal ayah tau ya, kehadiran ayah dirumah ini hanya menimbulkan kekacauan! Hidup kami lebih tenang tanpa ayah!"
Ibu menarik pelan bahuku, berusaha menghentikan. Tapi aku tak peduli. kebencian ku pada ayah benar-benar telah mencapai puncak. Ayah seketika menatap ku marah. Satu layangan tangan kekarnya mendarat di pipi kiri ku. Sakit. Air mataku mengucur. Hati ini lebih sakit dibandingkan darah yang menetes karena tamparan mu, ayah.
Ayah benar-benar telah berubah.
***
Jarum jam berbentuk dadu putih di meja kamar ku menunjuk pukul 12 malam. Perlahan ku buka pintu kamar, melangkah pelan meninggalkan rumah. Kantong kertas hitam terngenggam erat di tangan ku. Berulang kali aku berusaha menata nafas. Aku gugup. Tapi semua ini harus ku lakukan untuk keselamatan ibu. Keselamatan kami. Malam ini, ayah harus pergi dari kehidupan kami.
Aku beruntung, ayah sedang terlelap di sebuah lapak perjudian di sudut gang. Jadi aku tak perlu mencari terlalu jauh. Ku tatap kantong kertas hitam itu lagi. Tadi sore, aku sengaja mengambil kalung emas kesayangan ibu yang dititipkan di lemari kamar ku. Dan kalung itulah yang ada di dalam kantong yang sejak tadi ku genggam.
Sedikit bergetar, ku letakkan kalung itu di dekat ayah yang masih terlelap. Maaf ayah, ayah yang meminta ku melakukan ini. Aku menyayangi mu, ayah. Tapi nyawa ibu lebih aku cintai dari segalanya. Itu yang membuat ku begitu membenci mu. Setelah memastikan ayah masih terlelap, dengan langkah cepat ku tinggalkan ayah. Semua harus selesai malam ini.
Saat aku kembali, rumah lengang. Begitupun sekitarnya. Nampaknya ibu sudah tertidur. Ku keluarkan linggis kecil yang sejak tadi ku sembunyikan dalam saku piyama ku. Mencoba mencungkil salah satu jendela rumah agar terlihat dibuka paksa dari luar. Ku acak sedikit rambut ku agar orang-orang menyangka bahwa aku memang baru saja terbangun dari tidur.
Ku tarik nafas dalam, "Maafkan Tara, ayah.."
"Tolooong!! Ada maling!! Toloong!!" Aku berteriak sekeras mungkin dari teras rumah. Ibu terburu-buru keluar rumah dengan wajah panik.
"A-ada apa, Tara? Ada apa?" tanya ibu panik. Bersamaan dengan itu orang-orang berdatangan. Ku pasang wajah sepanik mungkin. Aku tak ingin ada seorangpun yang curiga. Ibu masih menatap bingung.
"Ada apa, neng?? kenapa?"
"Tolong, pak. Ada maling yang tadi ngacak-ngacak kamar saya. Dia membawa kalung emas yang ada di lemari saya, pak. Setelah tau saya terjaga, maling itu langsung kabur" aku mengiba
"Maling itu lari ke arah mana, neng??"
"Kesana, pak"
Serentak semua bubar, berlari menuju arah yang ku tunjukkan.
"Tara, benar ada maling yang masuk ke kamar kamu?" tanya ibu
"Iya, bu. Dia ngebawa kalung yang ibu titipin di lemari Tara"
"Tapi kamu gapapa kan?" ibu menatap ku panik
"Tara ngga papa, bu" ibu mendekap ku cemas.
Tepat seperti dugaan ku. Tidak butuh waktu lama, ayah diseret masyarakat 30 menit kemudian. Wajahnya babak belur. Aku hanya menatap datar. Penderitaan itu belum seberapa untuk semua yang telah ayah lakukan pada ibu, pada Alvin, dan aku.
"AYAH?!!" Seketika ibu lebih panik menyadari bahwa yang diseret itu adalah ayah. Orang-orang menatap bingung. Aku lebih bingung lagi. Harus apa aku sekarang? Ikut menangis? jelas-jelas ini perbuatan ku.
"Pak, tolong cepat panggilkan ambulan, pak. Cepat!" teriak ibu.
***
Ibu tak henti menangis di ruang tunggu ICU. Alvin hanya menatap bingung. Berulang kali ia menguap lebar. Mengantuk. Dan sejak tadi aku hanya diam. Aku harus apa?
"Ibu?" panggil ku. Ibu menoleh. Wajahnya sembab.
"Tolong jawab, bu. Kenapa ibu ngga pernah marah sama ayah, padahal ayah selalu nyakitin ibu. Tolong kali ini jawab, bu" pintaku.
"Tara, sebenarnya ada banyak hal yang tidak pernah kau tau tentang ayah.." Ibu menatap langit-langit, berusaha menahan air matanya,
"Ayah sebenarnya sangat menyayangi kalian. Menyayangi kita. Kau pasti bertanya-tanya kenapa ayah berubah empat tahun silam. Kau tau? Ayah seperti itu bukan atas kehendaknya, tapi penyakitnya.." Sampai disini ibu berhenti lagi. Menarik nafas, mencari sisa-sisa ketegaran untuk tak menangis.
"Empat tahun setelah kami menikah, ayah menderita penyakit Gulliam Barre Sindrom yang membuat ayah sering merasa anggota tubuhnya kehilangan sensitivitas, juga sesak nafas. Saat itu kau baru berusia tiga tahun dan ibu sedang hamil muda. Ayah memutuskan menunda pengobatan nya karena tabungan nya hanya cukup untuk bertahan hidup keluarga. Ibu pernah bilang untuk menggunakan tabungan itu untuk biaya pengobatan nya, tapi ayah tidak mau. Ia tak ingin melihat putrinya lapar karena tak punya biaya untuk membeli makanan. Belum lagi memikirkan biaya persalinan ibu yang tidak murah.
Keajaiban datang empat tahun kemudian. Ayah sembuh begitu saja. Tapi ternyata kesembuhan ayah dari penyakit itu membuka lembaran kepedihan baru bagi keluarga kita, terutama ayah. Satu tahun berikutnya sikap ayah sering aneh. Terkadang tanpa alasan ayah marah-marah sendiri, tapi terkadang sikapnya normal lagi. Dan saat ibu tanya, ayah ngga pernah sadar kalau ia baru saja marah-marah. Psikiater bilang, ayah punya kepribadian ganda. Antara diri ayah yang suka marah-marah dan diri ayah yang normal, mereka tidak pernah saling mengenal satu sama lain. Jadi yang selama ini mukulin ibu itu bukan ayah, sayang. Ayah sayang banget sama kita. Hanya saja kejiwaan nya yang sedang terganggu. Sesekali saat ayah kembali menjadi dirinya, ayah sering nanyain kamu sama Alvin. Tapi ayah juga paham kalian sangat membencinya. Karena itu ayah lebih sering meninggalkan rumah. Ayah juga tidak ingin penyakit yang ia derita membuat kalian membencinya" Ibu menghela nafas.
Aliran darah serasa dingin merambat di sekujur tubuh ku. Ya Allah, aku tidak pernah tau hal ini. Di balik dinding-dinding kaca itu ayah sedang bertahan antara hidup dan matinya. Aku sungguh seorang anak yang durhaka. Ini semua karena ku. Aku nyaris membunuhnya. Ya Allah, andai ayah meninggal sebelum aku bisa memeluknya, aku sungguh tak pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Selamatkan ayah. Aku ingin meminta maaf padanya.
Pintu kaca dengan tirai hijau itu terbuka. Dokter berseragam putih keluar sambil melepas sarung tangan yang di kenakan nya.
"Dokter, bagaimana suami saya?" wajah ibu memucat.
Ternyata, Allah punya kehendak lain ..